Oleh: Nurul Aurelia Putri (Mahasiswi Prodi Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2023)
Pendahuluan
Terlihat di ufuk barat Nusantara, Aceh berdiri anggun di antara bisikan ombak dan semilir angin samudera. Letaknya yang strategis dan tanahnya yang kaya, menjadikan Aceh bukan sekadar persimpangan perniagaan, melainkan tanah yang diperebutkan sejak berabad-abad silam. Sampai ketika badai kolonialisme datang, Aceh tak pernah tunduk begitu saja.
Gambar 1. Penyerahan Tanda Jasa kepada Ahli Waris Keumalahayati saat Momen Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2017
Sumber: https://aceh.tribunnews.com/2017/11/10/presiden-anugerahkan-gelar-pahlawan-kepada-keumalahayati
Dialah Keumalahayati, perempuan pertama di dunia yang menyandang pangkat laksamana—gelar yang saat itu nyaris tak pernah diberikan kepada seorang perempuan. Diperkirakan hidup pada rentang abad ke-15 hingga ke-16, Keumalahayati hadir di tengah zaman yang keras, ketika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh ketajaman pedang dan keberanian untuk mengarungi samudra. Dalam bahasa Aceh, “Keumala” bermakna batu permata—bercahaya, berharga, dan dipercaya mengandung kekuatan istimewa (Saifullah, 2012:21). Sebuah pilihan nama yang seolah menjadi pertanda, bahwa perempuan ini akan menjadi sosok yang bersinar di tengah gelapnya perjuangan.
Gambar 2. Keumalahayati
Sumber: https://i.pinimg.com/originals/c2/77/6b/c2776b7e22261d48cdf475f43bc7e4ba.jpg
Bukti-bukti sejarah mengenai Keumalahayati ditemukan dalam sebuah manuskrip berangka tahun 1254 H (sekitar 1875 M) yang kini tersimpan rapi di University Kebangsaan Malaysia. Dari catatan tersebut terungkap bahwa Keumalahayati berasal dari darah biru Aceh—sebuah keluarga bangsawan yang sudah lama bergelut di dunia kemaritiman. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah seorang perwira laut yang namanya harum di dunia maritim Aceh. Dari garis keturunan sang ayah, Keumalahayati juga merupakan cucu dari Muhammad Said Syah, seorang laksamana ulung, yang tak lain adalah putra Sultan Salahuddin Syah, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam antara 1530 hingga 1539 M. Sultan Salahuddin sendiri merupakan anak dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri kerajaan besar Aceh Darussalam yang yang memerintah pada tahun 1513—1530 M (Laily dkk, 2023:463).
Darah para pemimpin besar itulah yang mengalir deras dalam diri Keumalahayati, darah yang membawa keberanian, kecerdasan, dan keteguhan hati. Namun, lebih dari sekadar mewarisi nama besar, Keumalahayati membuktikan bahwa dirinya layak untuk dikenang, tidak karena siapa leluhurnya, tetapi karena apa yang ia perjuangkan. Sejak kecil, Keumalahayati tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan yang menjunjung tinggi ilmu dan kehormatan. Karena latar belakang keluarganya, ia diberi hak istimewa untuk memilih jalur pendidikannya sendiri, tanpa batasan, tanpa paksaan. Pilihannya jatuh pada Akademi Militer Ma’had Baitul Makdis yang terletak di Kutaraja, pusat kekuasaan Kesultanan Aceh kala itu.
Ma’had Baitul Maqdis bukanlah sembarang tempat belajar. Akademi ini dibangun dari buah kerjasama erat antara Kesultanan Aceh dan Turki Usmani, dua kekuatan besar dunia Islam pada masa itu. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahar (1537–1571), Aceh mengirimkan utusan ke Turki yang dipimpin oleh Husein Effendi, untuk mempererat hubungan dan mendirikan lembaga pendidikan militer bertaraf internasional di bumi Serambi Mekah (Wildan dkk, 2015:29-30). Siapapun di dalam akademi ini, mereka para calon perwira, akan ditempa dengan keras. Mereka dididik untuk menjadi prajurit gagah berani, siap membela tanah air sampai titik darah penghabisan. Ma’had Baitul Maqdis memiliki dua jurusan utama: jurusan angkatan darat dan angkatan laut (Saifullah, 2012:16). Keumalahayati, dengan keyakinan penuh, memilih jurusan kelautan — mengikuti jejak leluhurnya yang telah lama berjaya di samudra.
Masa pendidikannya tidak selalu mudah. Banyak godaan, termasuk perhatian dari rekan-rekan mahasiswa yang diam-diam mengagumi sosoknya—kecerdasannya, ketegasannya, keberaniannya, juga kecantikan hatinya yang terpancar dalam sikapnya. Namun Keumalahayati tetap teguh. Ia menolak segala rayuan itu, berpegang pada niat awal, menyelesaikan pendidikannya dengan penuh kehormatan. Takdir, bagaimanapun, tetap berjalan dalam ritme yang tak bisa ditebak. Di tengah laju rotasinya, hadir seorang senior dari jurusan angkatan laut yang perlahan memenangkan hatinya. Ma’had Baitul Maqdis menjadi saksi, bagaimana mereka menyulam untaian benang cinta yang terus tersulam di setiap harinya. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk mengikatkan untaian benang tersebut menjadi simpul terikat dalam kata pernikahan. Mereka memutuskan untuk menikah setelah keduanya berhasil menuntaskan pendidikannya.
Pertempuran Teluk Haru
Layaknya roda yang berputar, bergerak, berirama, merendah dan meninggi, kebahagiaan seumur jagung yang baru dirasakan Keumalahayati seketika berubah menjadi tangisan kehilangan. Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah Al Mukamil, Portugis kembali menantang kedaulatan di lautan Aceh. Teluk Haru menjadi saksi bisu pertempuran besar antara armada laut Aceh dan kekuatan kolonial Eropa itu. Aceh, di dalam barisan para laskar yang berangkat ke medan pertempuran, berdiri sang suami tercinta—seorang laksamana pemberani dari armada laut. Pertempuran ini berakhir dengan membawa kabar baik bagi sebagian rakyat Aceh.
Pasukan Portugis berhasil dipukul mundur. Sorak sorai kemenangan bergema di tanah Aceh. Tapi tidak bagi Keumalahayati. Suaminya gugur. Ia berdiri di tengah rakyat yang bersuka cita, dengan perasaan hampa dan mata yang menyimpan kabut luka. Diam dan hanyut meratapi lukanya ternyata bukan pilihan bagi seorang Keumalahayati. Berangkat dari lukanya, ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan sang suami. Ia bangkit, menyulap lukanya menjadi kobaran api semangat. Saat itu, Keumalahayati menjabat sebagai Komandan Protokol Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam rangka membuktikan perlawanannya, Keumalahayati kemudian menghadap Sultan, mengajukan permohonan untuk membentuk pasukan khusus yang berisikan para perempuan yang mengalami nasib serupa dengannya—para janda yang harus kehilangan suaminya setelah pertempuran Teluk Haru.
Melihat kecakapan, integritas, serta latar belakang pendidikan militer Keumalahayati, Sultan mengabulkan permohonan itu dengan membentuk Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda). Secara etimologis, “Inong” berarti perempuan, dan “Balee” berarti teras rumah. Istilah ini menyiratkan filosofi bahwa saat suami telah tiada, perempuanlah yang mengambil alih posisi di garis depan rumah, menjadi pemimpin dan pelindung keluarga (Nugraha dkk, 2008). Lebih jauh, mereka tidak lagi hanya menjadi penjaga rumah, tetapi penjaga batas negeri. Bersama Armada Inong Balee inilah, Keumalahayati kemudian diangkat menjadi seorang Laksamana perempuan pertama di dunia. Pada awal pendiriannya, pasukan ini berjumlah seribu orang, terdiri dari para janda yang kehilangan suami dalam peperangan. Namun semangat perjuangan mereka rupanya menginspirasi banyak gadis muda lainnya. Tak lama, pasukan ini bertambah dua kali lipat, menjadi dua ribu orang, dengan tambahan dari kalangan gadis-gadis remaja yang secara sukarela bergabung demi membela tanah air bersama sang Laksamana Keumalahayati (Laily dkk, 2023:463).
Bersama dua ribu perempuan tangguh yang memilih menukar air mata dengan senjata, ia tak hanya membentuk pasukan, tetapi juga peradaban baru dalam sejarah perempuan Nusantara. Di Teluk Lamreh Krueng Raya, pangkalan militer tempat mereka dilatih dan bernaung, Keumalahayati memulai langkah yang lebih besar. Ia tahu, perang tak hanya dimenangkan di laut, tapi juga dari daratan yang kokoh. Maka dibangunlah sebuah benteng, yang kelak dikenal dengan nama Benteng Inong Balee. Benteng ini berdiri kokoh di ketinggian sekitar seratus meter dari permukaan laut. Dari atas sana, lautan terbentang luas, dan setiap gelombang yang datang bisa terlihat dengan jelas. Tembok benteng dibuat setebal tiga meter, menghadap langsung ke laut—tepat ke arah di mana ancaman biasanya datang (Saifullah, 2012:20). Lubang-lubang meriam dipahatkan di dindingnya, dan moncongnya mengarah lurus ke pintu Teluk, siap menyambut kapal musuh dengan gelegar api.
Bersama Armada Inong Balee, Keumalahayati mengawasi pelabuhan-pelabuhan utama yang berada di bawah otoritas syahbandar, serta memantau pergerakan kapal-kapal galey milik kesultanan—kapal perang berukuran besar yang menjadi tulang punggung kekuatan laut Aceh. Bahkan seorang pelaut Inggris, John Davis, mencatat bahwa pada masa Keumalahayati, Aceh memiliki lebih dari seratus kapal galey, masing-masing mampu menampung antara 400 hingga 500 orang prajurit (Saifullah, 2012:23).
Badai baru datang dari arah barat. Pada 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman, seorang petualang asal Belanda, memimpin pelayaran pertamanya dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Tujuannya jelas: membuka jalur dagang sekaligus menanamkan pengaruh dagang dan militer Belanda di kawasan timur. Setelah kembali ke negaranya, Cornelis tak datang dengan tangan kosong. Ia kembali ke Nusantara dalam pelayaran kedua—kali ini tidak hanya dengan kapal dagang, tetapi juga dengan kapal perang, pertanda bahwa niat dagang Belanda kini disertai kepentingan penaklukan.
Peristiwa Houtman Bersaudara
Pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, berlabuh di pusat Kesultanan Aceh Darussalam. Kapal-kapal itu dipimpin oleh dua bersaudara: Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Pada awalnya, kedatangan mereka disambut hangat. Kesultanan berharap bahwa dari hubungan ini, pasar lada Aceh akan berkembang dan memberikan keuntungan dagang yang besar. Namun, tak semua yang tampak bersahabat membawa niat baik.
Menurut (Saifullah, 2012:24), situasi mulai memanas ketika Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Mukammil, yang awalnya bersikap terbuka, tiba-tiba berubah sikap. Kecurigaan mulai tumbuh, apalagi setelah seorang penerjemah Portugis yang berdasarkan tulisan (Wildan dkk, 2015:30) bernama Don Alfonso Vicente, diduga memiliki kepentingan tersembunyi—membisikkan hasutan kepada sang sultan. Alfonso menanamkan kecurigaan bahwa kehadiran Belanda tak lain hanyalah topeng dari kolonialisme yang lebih buas dibandingkan Portugis.
Namun, di dalam tulisannya tentang fakta sejarah dalam novel Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo, (Wildan dkk, 2015:32) mengutip pernyataan (Wadji, dkk. 2008:355) bahwa, Aceh angkat senjata bukan semata karena kesalahpahaman atau hasutan semata. Sultan Al-Mukammil merasa dikhianati. Dua bersaudara dari Belanda itu justru membuat onar di pasar-pasar, menciptakan kegaduhan yang meresahkan rakyat, dan bahkan menghasut para pedagang dari luar negeri hingga menimbulkan ketegangan di dalam jantung ekonomi Aceh sendiri. Kepercayaan yang telah diberikan pada akhirnya dicabik-cabik. Manipulasi perdagangan yang dilakukan Belanda membuat Aceh tersentak: tamu yang datang membawa harapan, justru menebar dusta dan kekacauan. Maka, ketika sabar telah habis dan kehormatan telah ternoda, jalan satu-satunya hanyalah perlawanan.
Sultan tidak tinggal diam. Ia memerintahkan serangan terhadap kapal-kapal Belanda. Dan pada titik itulah, Keumalahayati berdiri di barisan paling depan. Dengan keberanian yang tak biasa dan hati yang terbakar semangat, ia memimpin pasukan Inong Balee menggetarkan lautan Aceh. Dentum meriam memecah angin, dan ombak menjadi saksi perlawanan Aceh. Dalam pertempuran itu, Cornelis de Houtman tewas di tangan Keumalahayati. Sedangkan saudaranya, Frederik de Houtman ditahan selama dua tahun di Penjara Aceh. Di sana pula, Frederick menulis kamus Melayu-Belanda pertama di Nusantara (Wildan dkk, 2015:32).
Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana
Kobaran semangat seorang Keumalahayati seolah tak pernah padam di tengah gejolak dunia yang didominasi oleh laki-laki. Karena keberanian dan ketegasannya yang luar biasa, Keumalahayati juga dipercayakan untuk mengemban tugas yang tak kalah penting, Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Tugasnya sebagai perantara tangan Sultan dengan urusan-urusan di luar istana.
Setelah pertempuran yang mengakibatkan tewasnya Cornelis de Houtman, hubungan Aceh dan Belanda semakin memanas. Seakan bara yang siap menyala kapan saja. Api itu benar-benar tersulut ketika pada 21 November 1600, kapal-kapal Belanda di bawah komando Paulus van Caerden memasuki perairan Aceh. Tanpa ampun, mereka membajak kapal dagang Aceh, merampas lada yang diangkutnya, lalu menenggelamkannya.
Beberapa bulan kemudian, 31 Juni 1601, datang lagi rombongan Belanda yang dipimpin oleh Yacob van Neck. Mereka mengaku datang untuk berdagang, ingin membeli lada. Tapi Keumalahayati curiga bahwa kedatangan mereka adalah untuk menebar tipu daya yang sama. Maka tanpa ragu, ia memerintahkan pasukannya untuk menahan mereka. Tindakan ini tak dilakukan tanpa dasar—ia telah berdiskusi dengan Sultan al-Mukammil, yang mendukung penuh sikap tegas sang laksamana, dengan dasar sebagai ganti rugi atas tindakan Belanda sebelumnya (Saifullah, 2012:26).
Kemudian, tibalah utusan ketiga dari Belanda pada 23 Agustus 1601. Gerard de Roy dan Laurens Bicker datang membawa surat permohonan perdamaian dari Pangeran Maurits, disertai beberapa hadiah untuk Sultan. Sultan kemudian menerima kedatangan mereka karena Pangeran Maurits berjanji untuk menghukum Paulus van Caerden. Namun sebelum semua itu disampaikan, Keumalahayati lebih dulu memanggil mereka ke meja perundingan. Ia bicara bukan dengan suara tinggi, tapi dengan wibawa yang membuat lawan bicaranya tunduk. Ia menuntut tiga hal: pembebasan Frederick de Houtman, permohonan maaf, dan ganti rugi atas kapal Aceh yang dirampok. Tak bisa dielak, Belanda pun menyetujui. Mereka bersedia membayar 50.000 gulden (Saifullah, 2012:39).
Setelah berbagai ketegangan yang hampir membuat keduanya terjerumus dalam jurang perselisihan yang abadi, harum wangi perdamaian mulai tercium ketika Belanda akhirnya kembali diizinkan untuk berdagang di Aceh. Selain itu, siluet perdamaian antara keduanya kemudian diperjelas dengan pengiriman tiga orang utusan terpilih untuk menghadiri audiensi dengan Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiganya adalah Abdoel Hamid, Muhammad—seorang perwira laut tangguh di bawah komando Keumalahayati—dan Mir Hasan, bangsawan terhormat dari kalangan istana Aceh. Dengan keberangkatan mereka, Aceh mencatat sejarah sebagai kerajaan pertama di Asia yang mengirim duta resmi ke Eropa (Saifullah, 20212:39).
Belanda, yang pada saat itu tengah berjuang dalam Perang Kemerdekaan melawan penjajahan Spanyol—perang yang kelak dikenal sebagai Perang Delapan Puluh Tahun, ketiga utusan tersebut disambut dengan upacara kenegaraan yang megah. Kehadiran mereka menjadi momen bersejarah, disaksikan pula oleh para tamu kehormatan dari berbagai penjuru Eropa. Di situlah dunia menyaksikan pengakuan de jure terhadap kedaulatan dan martabat Kerajaan Aceh, sebuah pengakuan yang lahir bukan karena belas kasihan, melainkan karena keberanian, kecerdikan, dan kehormatan yang dipertahankan dengan darah dan martabat.
Selesai bergelut dengan Belanda, Keumalahayati kembali menangani urusan di luar istana. Kali ini, Keumalahayati beradu kening dengan Kerajaan Inggris, yang pada saat itu di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth I (1558–1603 M) tengah gencar memperluas pengaruh dagangnya ke kawasan Timur. Dalam semangat itu, Sang Ratu mengirim seorang perwira Angkatan Laut Inggris, James Lancaster, untuk membawa sepucuk surat resmi yang ditujukan kepada Sultan al-Mukammil.
Rombongan Lancaster berlabuh di Pelabuhan Aceh pada 6 Juni 1602, dengan harapan membangun hubungan dagang dan politik yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, sebelum dapat bertatap muka dengan Sultan, ia terlebih dahulu harus melewati satu gerbang penting: Laksamana Keumalahayati. Dalam sebuah perundingan, Lancaster menyampaikan maksud kedatangannya. Ia membawa pesan persahabatan dari Ratu Inggris serta harapannya agar Aceh menjalin hubungan baik dengan Inggris sekaligus bersikap tegas terhadap Portugis yang menjadi musuh bersama.
Namun, Keumalahayati, dengan ketegasan dan kebijaksanaan yang telah menjadi ciri khasnya, tidak serta-merta menerima tawaran itu. Ia menegaskan bahwa segala bentuk kerja sama dan pesan politik harus ditulis secara resmi atas nama Ratu Elizabeth I. Keteguhan sikapnya bukan semata-mata soal protokol, melainkan cerminan kedaulatan Aceh sebagai kerajaan yang setara, bukan sebagai bawahan kekuatan kolonial Eropa. Setelah permintaan tersebut dipenuhi dan surat resmi diserahkan, barulah Lancaster diperkenankan menghadap Sultan al-Mukammil.
Tak hanya piawai di medan diplomasi dan palagan laut, Laksamana Keumalahayati juga memainkan peran krusial dalam menyelesaikan persoalan internal yang melanda Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika usia Sultan al-Mukammil telah mencapai 95 tahun, Kesultanan mulai diguncang berbagai intrik kekuasaan dari dalam istana. Masa tua sang Sultan menjadi celah terbukanya konflik suksesi yang nyaris meretakkan fondasi pemerintahan.
Pada tahun 1603 M, Sultan al-Mukammil menunjuk putra sulungnya sebagai pendamping dalam pemerintahan. Namun, keputusan tersebut justru menjadi awal pengkhianatan. Sang putra secara sepihak mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604–1607 M), tanpa restu penuh dari ayahandanya. Pemerintahan baru ini bukannya membawa angin segar, melainkan membuka gerbang derita: musim kemarau yang tak berkesudahan, konflik berdarah antarbangsawan, dan ancaman militer dari Portugis.
Sementara itu, di tengah keterpurukan yang sedang melanda, Sultan Ali Riayat Syah tampak tak memiliki ikhtiar yang kuat untuk menyelamatkan negeri. Kekecewaan pun tumbuh di kalangan para bangsawan dan punggawa istana, salah satunya datang dari Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Namun, bukannya mendengarkan suara hati rakyat dan keluarganya, Sultan justru memerintahkan penangkapan Darmawangsa dan memenjarakannya.
Kondisi berubah drastis ketika pada Juni 1606, armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Castro menyerang Aceh. Dalam gentingnya ancaman tersebut, Darmawangsa memohon agar dibebaskan dari penjara untuk ikut bertempur demi tanah airnya. Permintaan itu didukung langsung oleh Laksamana Keumalahayati, yang melihat ketulusan dan potensi besar dalam diri Darmawangsa. Keumalahayati berhasil membebaskan Darmawangsa. Keduanya lalu memimpin perlawanan dengan penuh keberanian dan berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari bumi Aceh.
Kemenangan itu menjadi titik balik. Kegagalan Sultan Ali Riayat Syah dalam mengendalikan kekacauan dan mempertahankan stabilitas kerajaan membuat banyak pihak menilai bahwa ia tak lagi layak memimpin. Dengan dukungan para elite kesultanan, Keumalahayati melakukan langkah tegas: menurunkan Sultan Ali dari tahtanya dan membuka jalan bagi Darmawangsa untuk naik sebagai Sultan. Maka, pada tahun 1607 M, Darmawangsa dinobatkan sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (Laily dkk, 2023:465). Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam bukan hanya bangkit dari keterpurukan, melainkan mencapai puncak kejayaannya.
Sebuah Pengingat
Laksamana Keumalahayati bukan hanya perempuan perkasa yang mengangkat pedang di tengah lautan, tetapi juga jiwa yang setia menjaga kehormatan bangsanya dari ancaman luar dan dalam. Keumalahayati kemudian menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 1607 (Laily dkk, 2023:465). Dalam sunyi sejarah, namanya kadang hanya menjadi bisikan, padahal jejaknya menggema begitu lantang. Ia tidak hanya seorang panglima, tetapi penjaga marwah negeri, penawar luka atas pengkhianatan, dan suara tegas dalam diplomasi antar bangsa. Saat lelaki sibuk berperang, ia memimpin. Saat istana dilanda perpecahan, ia mendamaikan. Dan saat sejarah nyaris lupa, ia tetap berdiri—diam tapi nyata.
Namun di balik kemegahan perjuangannya, Keumalahayati juga menyimpan kisah getir tentang bagaimana sejarah memperlakukan perempuan. Banyak yang tak mengenal namanya, apalagi memahami betapa besar jasanya. Ini menjadi pengingat bahwa peran perempuan dalam perjuangan bukanlah sekadar “konco wingking” atau yang terbatas di dapur dan sumur. Seperti yang pernah dikatakan oleh Mustafa Kemal Atatürk, “Di antara soal-soal perjuangan yang harus diperhatikan, soal wanita hampir selalu dilupakan.” Kalimat ini seolah menggambarkan nasib banyak perempuan hebat dalam sejarah, termasuk Keumalahayati yang keberaniannya jauh melampaui zamannya. Sudah saatnya kita tidak hanya membaca sejarah, tetapi juga meraba makna dari mereka yang pernah bertaruh nyawa demi harga diri bangsanya. Kisah Keumalahayati adalah warisan—bukan sekadar untuk dikenang, tapi untuk dijadikan cermin bahwa perempuan pun mampu menjadi penjaga tanah air, dengan kepala tegak dan hati yang tak gentar.
Daftar Referensi
Anis Nur Laily, Agus Adriyanto, & Lukman Yudho Prakoso. (2023). Lesson Learn The Leadership Period of Admiral Keumalahayati for the Development of Maritime Defense Strategy. International Journal Of Humanities Education and Social Sciences, 3(1). https://doi.org/10.55227/ijhess.v3i1.638
Nugroho, H. W., & Murtiningsih, S. (2008). PARADOKS GENDER (Kajian Feminisme Etis terhadap Kemunculan Inong Balee dalam Kekerasan Politik di Aceh). Jurnal Filsafat, 18(3), 295-314. https://journal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/3529
Saifullah, S. (2012). Laksamana Keumalahayati No. 30/2012 (No. 30). Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2012 – Laksamana Keumalahayati.pdf
Wildan, W., Harun, M., & Safrida, Y. (2015). Fakta Sejarah dalam Novel Perempuan Keumala Karya Endang Moerdopo. Cendekia: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 9(1), 25-36. https://cendekia.soloclcs.org/index.php/cendekia/article/view/50
Wiradinata, A. (2024). Peran Laksamana Keumalahayati Dalam Bidang Militer Pada Masa Kesultanan Aceh Darussalam Tahun 1585-1604 (Doctoral dissertation, S1-Sejarah Kebudayaan Islam). https://digilib.uinsgd.ac.id/50862/4/4_bab%201.pdf