Views: 125

Views: 125

Oleh: Dadan Adi Kurniawan

Staff Pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret, Surakarta



Sejarah sebagai “Sebuah Peristiwa”

Sebagai sebuah kejadian, maka peristiwa sejarah hanya terjadi sekali (tidak bisa terulang). Jika pun terulang dan mirip, tetap saja masuknya sudah peristiwa lain (baru). Sekalipun di tempat yang sama, orangnya sama, kategori masalahnya sama, tetapi waktunya berbeda, maka merupakan peristiwa sejarah yang berbeda (baru). Yang sama hanyalah polanya atau disebut sebagai “pola sejarah” (historical pattern). Sebagai contoh misalnya, saat mengendarai sepeda motor, si A terjatuh di sebuah perempatan. Kejadian tersebut terjadi pada sore hari tanggal 12 Agustus 2020. Kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan tunggal yang disebabkan karena kekuranghati-hatian si A. Dua tahun berikutnya, tepatnya tanggal 27 September 2022, si A lagi-lagi terjatuh di tempat yang sama dengan penyebab yang sama, waktu kejadiannya pun juga sama (terjadi pada sore hari). Sebagai sebuah peristiwa sejarah, maka kecelakaan si A yang terjadi kedua kali pada tanggal 27 September 2022 berbeda dengan kecelakaannya yang pertama pada tanggal 12 Agustus 2020. Polanya memang sama tetapi peristiwanya sudah berbeda. Oleh karenanya fenomena ini kurang tepat jika dikatakan sebagai “peristiwa sejarah yang berulang“, melainkan “pola sejarah yang berulang“.


Sejarah sebagai “Sebuah Cerita atau Kisah”

Berbeda dari “sejarah sebagai sebuah peristiwa”, maka “sejarah sebagai sebuah cerita atau kisah” bisa berulang. Apa maksud dari “berulang” di sini? Maksudnya adalah bahwa meskipun kejadiannya (peristiwanya) hanya sekali tetapi penulisan kisahnya bisa ditulis berulang kali. Sebagai contoh misalnya terkait Peristiwa Kerusuhan 1998. Pada tahun 2000, si A menulis sejarah terjadinya Peristiwa Kerusuhan 1998. Kemudian, tahun 2002, si B juga menulis sejarah terkait Peristiwa Kerusuhan 1998 secara lebih lengkap. Sepuluh tahun berselang (tepatnya 2012), si C juga menulis sejarah Peristiwa Kerusuhan 1998 tersebut secara lebih lengkap dibandingkan dua penulis sebelumnya.

Kemudian pada tahun 2017, si D tidak mau ketinggalan turut menulis sejarah Peristiwa Kerusuhan 1998 tersebut. Bedanya si D memunculkan fakta-fakta baru yang intinya menyanggah (mendekonstruksi) banyak hal dari apa yang telah dirangkai oleh 3 penulis sebelumnya. Dengan sumber-sumber baru yang diperolehnya, si D berusaha mematahkan pendapat para sejarawan sebelumnya yang dirasa tidak tepat bahkan faktanya berkebalikan. Kemudian pada tahun 2019, muncul sejarawan baru (si E) yang juga menulis dan menguatkan tulisan sejarah yang dibuat si D (2017). Si E ini turut mengkritik tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh 3 sejarawan sebelumnya (si A, si B, dan si C) yang dirasa keliru dan salah tafsir. Sampai tahun 2019 ini, secara historiografis, terdapat semacam dua kubu tulisan sejarah terkait Peristiwa Kerusuhan 1998. Kubu pertama yaitu tulisan sejarah karya sejarawan A, B, dan C. Kemudian kubu lainnya adalah tulisan sejarawan D dan E. Tulisan sejarawan A, B, C saling menguatkan dan melengkapi. Sedangkan tulisan si D dan E adalah bentuk sanggahan yang menolak banyak poin dari apa yang telah ditulis sejarawan A, B, dan C.

Kemudian pada tahun 2023, muncul sekaligus 2 sejarawan baru (si F dan si G). Dengan sumber-sumber baru pula, kedua sejarawan terakhir ini justru menyanggah hasil tulisan sejarah yang dibuat sejarawan D dan E. Sejarawan F dan G justru mendukung tulisan ketiga sejarawan pertama (si A, B, dan C) dan lebih melengkapinya lagi dengan data-data baru namun masih selaras (tidak bertentangan).

Cerita di atas menggambarkan bahwa “sejarah sebagai sebuah kisah atau cerita” bisa ditulis berulang kali sekalipun obyek masalahnya sama (Peristiwa Kerusuhan 1998). Namun demikian, sebagai sebuah peristiwa, kerusuhan 1998 ya hanya terjadi sekali pada tahun 1998 yang lalu. Yang terjadi lagi pada tahun 2000, 2002, 2012, 2017, 2019, dan 2023 adalah penulisan kisah atau ceritanya. Ini menegaskan pada kita bahwa “peristiwa masa lalu” dan “kisah/cerita atas peristiwa masa lalu” merupakan dua hal yang berbeda.

Sebagai sebuah kisah/cerita, sifat tulisan-tulisan sejarah umumnya beraneka macam. Ada yang sifatnya saling menambahkan, saling melengkapi, saling menambal, saling menguatkan, menyanggah/menolak sebagian, dan bahkan menyanggah/menolak secara keseluruhan. Di sinilah terjadi apa yang disebut dengan “dialektika sejarah” atau “dialektika historiografi” yakni proses saling beradu pikiran, beradu tafsir, beradu argumen, beradu data, beradu sumber, beradu tulisan. Ada yang dialektikanya cenderung membabi buta karena subjektivitasnya tinggi, ada pula yang lebih ilmiah (menerapkan prinsip-prinsip metodologi secara presisi dan ketat). Tetapi apapun itu, semuanya bagian dari “proses dialektika bersama” yang saling terkait dan pada akhirnya memunculkan sejarah yang bewarna (beraneka macam). Masyarakat pembaca bisa menilai sendiri secara hati-hati dan bijak masing-masing tulisan sejarah yang disuguhkan dari banyak sejarawan.


“Fakta Keras” dalam Sejarah

Kebenaran sejarah ada yang sifatnya ‘mutlak’, ‘relatif’ dan ‘sementara’. Bersifat mutlak apabila didasari “fakta keras” (hard facts). Apa itu “fakta keras”? Fakta yang benar-benar sulit untuk dibantah objektivitas kebenarannya. Sebagai contoh, dalam kasus peristiwa 1965, kematian para jenderal dan perwira yang ditemukan di dalam sumur di daerah Lubang Buaya Jakarta merupakan sesuatu yang nyata dan pasti. Kenyataan tersebut sulit digugat (sampai detik ini tidak ada yang menggugat). Perkara, dalangnya siapa dan atas motif apa, itu sudah masuk urusan lain. Namun kematian sejumlah jenderal/perwira tersebut merupakan “fakta keras” yang sulit dibantah kebenarannya.

Masih dalam konteks sekitar peristiwa 1965, bahwa siapa saja dalang yang terlibat, siapa korban sebenarnya, siapa pelakunya, siapa yang biadab, masihlah debatable. Masing-masing pihak merasa benar. Tetapi “pembunuhan dalam jumlah banyak/besar” tahun 1966-1968 (pasca peristiwa September/Oktober 1965) adalah sesuatu yang nyata dan tidak bisa diganggu gugat. Pembunuhan besar-besaran tersebut merupakan “fakta keras” yang sulit dibantah.

Contoh selanjutnya, terkait agama Hindu-Budha di Indonesia. Perkara pembawa agama tersebut masih diperdebatkan, tetapi yang jelas warisan peninggalannya terutama candi-candi masih ada sampai sekarang. Meskipun sebagian hal masih diperdebatkan seperti tahun eksis atau abad persisnya berapa, saat itu dipimpin oleh raja siapa, kemundurannya karena faktor apa, atau lokasi persis istananya di mana, tetapi keberadaan candi-candi Hindu dan Budha tersebut menandakan bahwa agama Hindu-Budha pernah berjaya di masanya. Keberadaannya tidak mungkin ujug-ujug (tiba-tiba) melainkan pasti ada yang membawa dari tempat asalnya. Sesuatu yang sulit disangkal.

Contoh lainnya adalah perdebatan akan adanya Walisongo sebagai tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa. Fakta kerasnya adalah adanya “makam” yang dipercaya oleh sebagian masyarakat bahwa makam-makam tersebut merupakan makam Walisongo. Perkara makam tersebut benar-benar 100% makamnya Walisongo atau bukan, itu urusan lain. Namun keberadaan akan adanya “makam” adalah benar adanya. Fakta keras lainnya adalah “sebagian masyarakat percaya bahwa Walisongo itu dulunya ada”. Meskipun sebagian yang lainnya ada yang tidak percaya, itu urusan lain. Namun fenomena adanya “sebagian masyarakat yang percaya” adalah suatu fakta keras yang tidak terbantahkan. Pun termasuk adanya “sebagian masyarakat yang tidak percaya” akan adanya Walisongo juga merupakan “fakta keras” yang sulit dibantah. Siapapun itu, banyaknya penganut agama Islam di tanah air menandakan bahwa Islam tidak mungkin ujug-ujug ada, melainkan pasti ada yang membawakan dan mendakwahkannya. Ini merupakan fakta keras yang sulit disangkal. Mereka adalah pejuang-pejuang hebat yang mampu mengajak para penganut keyakinan sebelumnya ke agama Islam.

Contoh selanjutnya misalnya tentang Kerusuhan Mei 1998. Meskipun dalang utama kerusuhan atau penculikan sebagian demonstran masih debatable, tetapi adanya “kerusuhan dan pembakaran” oleh massa di beberapa kota adalah suatu “fakta keras” yang tidak bisa diganggu gugat. Kerusuhan dan pembakaran benar-benar terjadi di beberapa kota di Indonesia pada saat krisis 1998.

Contoh lain lagi misalnya, terkait krisis ekonomi pada akhir Orde Lama. Perkara penyebabnya apakah karena kesalahan kebijakan/kepemimpinan Soekarno ataupun adanya faktor eksternal lainnya, tetapi fakta kerasnya adalah “krisis ekonomi” tersebut memang nyata dan tak terbantahkan. Menjelang akhir kepemimpinan Soekarno, Indonesia memang mengalami krisis ekonomi.


Kebenaran Sejarah “Bersifat Mutlak”?

Jika masuk kategori sejarah kontroversial, maka “kebenaran sejarah” cenderung bersifat relatif. Hal ini disebabkan karena banyak versi sejarah. Masing-masing versi merasa benar (punya perspektif dan argumentasinya masing-masing). Sejarah kontroversial ini biasanya tidak berkutat pada aspek “fakta keras”, melainkan “fakta lunak” (soft facts) yang masih debatable. Tetapi dalam konteks di luar sejarah kontroversial, kebenaran sejarah secara umum “bersifat sementara”. Mengapa bersifat “sementara”? Karena jika kemudian hari ditemukan sumber-sumber baru yang lebih kredibel, rasional dan sulit untuk ditolak, maka akan meruntuhkan pendapat lama. Pendapat baru itu pun bisa jadi hanya hanya akan bertahan sekian waktu, karena bisa jadi di kemudian hari juga akan ditemukan sumber-sumber baru yang akan meruntuhkan pendapat-pendapat sebelumnya.

Kebenaran sejarah mutlak umumnya terdapat pada sejarah-sejarah yang disokong oleh banyak “fakta keras” yang mungkin tidak akan pernah bisa digugat dalam waktu yang lama, bahkan mungkin untuk selamanya. Kebenaran sejarah mutlak umumnya berlaku untuk konteks-konteks tertentu seperti sumbernya banyak, isi sumber jelas, dan semua sumber mengarah pada munculnya fakta yang sama. Pada akhirnya sulit dibantah dan semua sejarawan menyepakatinya (atau dengan kata lain tidak ada yang membantahnya). Kebenaran mutlak dalam sejarah umumnya berada di luar analisis aspek-aspek yang njelimet yang membutuhkan ruang tafsir yang besar. Semakin sedikit sumber sejarah yang menyokongnya, maka semakin banyak pula sejarawan mengeluarkan jurus “bermain tafsir (interpretasi)”. Di situlah pada akhirnya berimplikasi pada ruang debatable yang semakin besar. Ruang-ruang yang bersifat debatable umumnya tidak mengarah pada kebenaran sejarah yang mutlak, melainkan kebenaran sejarah yang sifatnya relatif atau sementara.


Sejarah Kontroversial

Apa itu “Sejarah Kontroversial” (controversial history)? Sejarah yang sering dibicarakan, kerap memunculkan perdebatan, dan menimbulkan pro dan kontra utamanya di kalangan masyarakat luas. Mengapa bisa muncul sejarah kontroversial? Pertama, karena aspek metodologisnya yaitu: (1) terbatasnya sumber data/data sejarah yang memadahi sehingga memperbesar ruang tafsir (interpretasi); (2) terbatasnya penguasaan metode dan instrument penelitian yang ilmiah. Karena metodologi penelitiannya terbatas, pada akhirnya cara kerjanya juga terbatas; (3) kemampuan tafsir/interpretasi yang terbatas dari para sejarawan; (4) latar belakang penulis yang sadar atau tidak sadar akan mempengaruhi subjektivitas tulisan sejarah. Semakin penulis sejarah tidak mampu “menjaga jarak”, maka semakin besar terjebak pada subjektivitas. Selain aspek metodologis, munculnya sejarah kontroversial juga disebabkan karena aspek non metodologis yaitu adanya kepentingan (umumnya politis) yang disengaja. Ditambah lagi jika para pelaku sejarah dan para pendukungnya masih hidup, memiliki kepentingan kuat dan terselubung, maka peluang munculnya kontroversi semakin besar.

Faktor-faktor di atas (metodologi dan politis) berpotensi besar pada munculnya tulisan sejarah yang bersifat: (1) ‘Spekulatif’ (untung-untungan); (2) ‘Simplifikatif’ (hal yang sebenarnya kompleks tetapi akhirnya disederhanakan/sebagian fakta dihilangkan/dikurangi); (3) ‘Distortif’ (hal yang sebenarnya sederhana tetapi dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan/ditambah-tambahi), dan (4) Manipulatif (kebohongan-kebohonan cerita sejarah, pembelokan/pelencengan narasi, sejarah yang ditulis dengan sengaja atas “pesanan-pesanan” si pemilik kepentingan).

Sifat kontroversi memiliki kadar atau tingkatan yang berbeda-beda (agak kontroversial, kontroversial, sangat kontroversial). Semakin banyak diperbincangkan, banyak diperdebatkan, banyak menimbulkan pro dan kontra di banyak tempat, di banyak kalangan, dan dalam kurun waktu yang semakin lama, maka bisa dikatakan “sangat kontroversial”.

Tema sejarah kontroversial tentu ada banyak sekali, baik sejarah Indonesia maupun sejarah dunia. Berikut beberapa tema sejarah Indonesia yang biasanya masuk ranah kontroversial atau kerap diperdebatkan dengan kadar/tingkatannya masing-masing (tentu ini belum mencakup semua tema kontroversial yang ada):

  1. Teori masuknya Hindu-Budha
  2. Teori masuknya Islam
  3. Lokasi ibu kota Kerajaan Demak
  4. Lokasi ibu kota Kerajaan Majapahit
  5. Benarkah Indonesia dijajah 350 tahun
  6. Sosok Syekh Siti Jenar
  7. Benarkah Candi Borobudur dibangun Nabi Sulaiman
  8. Bernarkah Patih Gadjah Mada itu beragama Islam
  9. Seputar dalang peristiwa September/Oktober 1965
  10. Supersemar 1966
  11. Pencetus Serangan Umum 1 Maret 1949
  12. Lahirnya Pancasila
  13. Hari Kebangkitan Nasional
  14. Kematian dan kepahlawanan RA Kartini
  15. Pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional
  16. Kepahlawanan Tan Malaka, Alimin, Semaoen, Arung Palaka, dll.
  17. Identitas dan Stigma terhadap Etnis Tionghoa
  18. Dan lain-lain

Komentar