Views: 38
Views: 38
Oleh: Jovan Galuh Ramadhani (Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2022)
PENDAHULUAN
Kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat dapat dilihat dari tiga unsur. Pertama, gagasan, nilai, moral, adat istiadat, dan norma. Kedua, aktivitas, perilaku, dan tata kehidupan sosial. Ketiga, artefak atau hasil budaya fisik yang dapat dilihat, disentuh, didengar, atau dirasakan (Koentjaraningrat, 1983, hlm. 5). Gagasan atau ide manusia dapat dituangkan dan dijelaskan melalui karya-karya sastra yang ditulis selaras dengan zaman penulisannya dan fungsinya dapat berupa kritik, nasihat, dan ajaran-ajaran spiritual. Hal tersebut juga berlaku terhadap serat Darmarini yang merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk tembang untuk memberikan nasihat serta arahan bagi kaum wanita dalam menjalani kehidupan sesuai dengan kodratnya. Serat Darmarini merupakan naskah kuno yang mengajarkan adab dan budi pakerti agar manusia dapat menyelaraskan tingkah lakunya dengan norma dan aturan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menurut Sutrisno (1981, hlm. 19), naskah-naskah sastra seperti serat mempunyai nilai serta amanat yang harus digali karena merupakan aset berharga yang telah dibangun oleh para pendahulu.
Mempelajari naskah kuno berarti menyelami alam pikiran nenek moyang yang telah hidup di masa lampau dengan kultur, pemikiran, dan kehidupan yang sangat berbeda dengan era sekarang. Mempelajari manuskrip berarti belajar mengungkap bagaimana para pendahulu menyelesaikan persoalan kehidupannya dan cara mereka mempertahankan eksistensi kehidupannya sebagai manusia yang memiliki dua peran yaitu sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Zoetmulder (1983, hlm. 293) mengatakan bahwa terkadang cerita yang disusun nenek moyang masih terselib unsur fiksi dan rekayasa namun secara batiniah cerita tersebut merupakan tali komunikasi yang menghubungkan antara nenek moyang dengan anak cucunya yang masih hidup. Dalam karya-karya sastra terdapat pemikiran dan ajaran yang patut untuk dipelajari dan dilestarikan agar budaya tidak stagnan di satu generasi saja, termasuk diantaranya Serat Darmarini.
Serat Darmarini karya Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana IX kemudian ditulis kembali oleh Ki Nitiwerna dan Ki Jayapranata atas perintah Paku Buwana X merupakan salah satu naskah dari sekian banyak naskah-naskah daerah, yang isinya layak kita lestarikan yang meliputi wewarah atau ajaran etika atau moral dari seorang raja (Al Marie, 2018, hlm. 26). Serat Darmarini mendapat tempat khusus dari sekian banyak naskah yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta karena di dalam naskah ini mengerucutkan pokok bahasan yakni tentang wanita sedangkan di naskah-naskah yang lain jarang sekali membahas dan menerangkan terkait bab wanita.
Bahasan tentang wanita menjadi pembicaraan yang tidak pernah ada habisnya. Hal itu terkait dengan peran, fungsi, kedudukan, dan hakikat wanita yang kadang kala sering dibentur-benturkan dan ditabrakkan dengan kepentingan tertentu sehingga dengan mempelajari naskah Darmarini ini akan menyadarkan akan tugas dan kewajiban seorang laki-laki terhadap wanita yang telah menjadi istri atau pasangan hidupnya.
Di dalam Serat Darmarini juga mengandung ajaran untuk menjadi manusia Jawa yang memiliki pemikiran, sikap, dan perilaku yang Jawa sentris. Jawa sentris di sini maksudnya adalah orang Jawa yang menjunjung dan melaksanakan norma serta aturan moral masyarakat Jawa yang mengatur kehidupan sosial, agama, dan budaya agar tercipta hubungan yang rukun sentosa (Kusbandrijo, 2007, hlm. 20). Orang Jawa adalah orang yang religius serta memiliki sikap sosial dan budaya yang tinggi, maka pendidikan bagi seorang wanita Jawa adalah pendidikan yang mencetak agar memiliki sikap religius, empatis, dan berbudaya.
PEMBAHASAN
Konsep mengenai perempuan sejati juga tertuang dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno berupa serat-serat, kisah pewayangan, maupun dalam karya sastra Jawa modern. Seperti dalam Serat Darmarini, ajaran tentang nilai-nilai perempuan yang utama tercermin dalam kutipan berikut ini :
Kinanthi 3.18
//Den awas sasmiteng dunung
Dununge karsaning laki
Dhuh babo-babo wanodya
Yen tan wruh karsaning laki
Rundhaning cipta tur dadya
Kuwur ngawur kowar kawir//
Terjemahan :
Seorang wanita harus paham dan tanggap. Terhadap keinginan dan permintaan suami. Duhai engkau wanita. Kalau tidak dapat memahami dan melayani suami. Akan membuat hati susah dan menambah carut marut keluarga (Al Marie, 2018, hlm. 74).
Kinanthi 3.19
//Kawaran genging nepsu
kasusu tan antuk kasil
kasila tyas temah ngredda
kena karencaneng eblis
lah ta mulane wanita
den samya amerak ati//
Terjemahan :
Seorang wanita tidak boleh ceroboh dalam mengambil tindakan. Karena tergesa-gesa dalam bertindak akan memperoleh hasil yang nihil. Jika berhasil pun akan membawa masalah. Karena sudah terdapat campur tangan iblis. Dari itu maka sebaiknya seorang wanita harus berbudi pekerti yang baik (Al Marie, 2018, hlm. 75).
Bait per bait tembang di atas, sesungguhnya adalah nilai-nilai budaya Jawa tentang wanita yang berjalan di atas jalan kesusilaan dan kepribadian yang baik. Namun nilai-nilai tersebut bukan hanya sebatas bagi wanita Jawa saja, tetapi bisa digunakan untuk pembelajaran dan diamalkan oleh wanita-wanita lain di luar Suku Jawa. Untuk menjadi wanita yang utama tidak harus dilakukan dengan menjadi seperti laki-laki, hal itu dikarenakan kodrat seorang wanita berbeda dengan seorang laki-laki. Untuk menjadi wanita utama tidak perlu menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita dan keluar dari batasan-batasan feminimitas (Susanto, 2000, hlm. 25).
Di dalam Serat Darmarini, juga dijelaskan mengenai tugas wanita di dalam keluarga yang terbagi menjadi lima tugas atau kewajiban. Lima tugas atau kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Mengurus Rumah
Dhandhanggula 1.6
//Driyanira den tentrem ywa gingsir
sarwa bisa wajibing wanita
miranteni busanane
priya myang dhaharipun
ingkang dadi karemaning laki
pinatut wayahira
sarapane esuk
tengange lan lingsir surya
tengah wengi byar esuk sayogya salin
tan bosen mamrih lejar//
Terjemahan :
Tanamkan rasa tentram di hati jangan sampai goyah. Serba bisa melaksanakan tugas dan kewajiban wanita. Menyiapkan baju dan pakaian. Serta melayani kebutuhan makan suami. Mengusahakan sesuatu yang digemari oleh suami. Diwaktu pagi, siang, dan sore usahakan selalu variatif dan tidak monoton. Agar tidak bosan dan jenuh (Al Marie, 2018, hlm. 43).
Ajaran yang terdapat dalam tembang dhandhanggula di atas adalah kewajiban seorang wanita untuk melayani kebutuhan suami dalam hal sandang dan pangan. Sandang disini berarti wanita harus bisa merawat dan memilihkan pakaian yang pantas untuk suami. Dalam hal pangan wanita harus mampu memasak dan menyiapkan makanan yang enak untuk suami. Selain itu, untuk menambah gairah berumah tangga wanita harus dapat ngadi salira dan ngadi busana artinya merawat badan dan berbusana yang bagus (Mulder, 1996, hlm. 64).
Ngadi salira dan ngadi busana menjadi tolok ukur dari kecantikan wanita Jawa. Dandanan yang menarik dan tidak berlebihan menjadikan wanita nampak anggun dan elegan. Kepatuhan terhadap norma terlebih sopan santun menjadi nilai tambah bagi seorang wanita di samping wajah dan tubuh yang elok. Pemeliharaan tubuh agar dapat terlihat cantik dapat dilakukan dengan menjaga pola makan, olah raga yang rutin, meminum jamu atau ramuan tradisional, dan lain-lain yang dapat memancarkan aura kecantikan baik dari dalam maupun luar (Soedibjo, 1984, hlm. 10).
2. Setia Terhadap Suami
Dhandhanggula 1.3
//Tetepana tartamtuning estri
pan pinetri wewadining badan
dadi tertip iku rane
tartip tegese urut
runtut titis wajibing estri
titis bener tegesnya
nering driya iku
ywa liya mring lakinira
raharahen ywa arda driya den manis
ulat wijiling sabda//
Terjemahan :
Tetaplah memegang kewajiban sebagai seorang wanita. Lakukan dengan baik dan benar. Baik dan benar disini berarti urut dan tidak tertinggal. Fokuskan hidupmu untuk mengabdi dan berbakti kepada suami. Lunaklah jangan keras seperti karang. Pancarkan aura yang memesona dari raut wajah dan tutur katamu (Al Marie, 2018, hlm. 52).
Pocung 5.2
//Dipun tuhu anlakonana puniku
kang sangang prakara
wijang sawiji-wiji
dhingin mantep lire tan niyat mring liyan//
Terjemahan :
Hendaklah mengikuti sembilan ajaran ini. Yang pertama dan yang awal. Yaitu hati yang mantab dan kuat untuk tidak menoleh ke hal-hal yang lain (Al Marie, 2018, hlm. 36).
Kesetiaan terhadap suami adalah dengan memberikan pengabdian dan penghormatan yang sepenuh hati. Hal ini berlaku juga dengan tidak melawan dan memusuhi suami karena suami merupakan kepala keluarga dan pucuk pimpinan dalam rumah tangga. Seorang istri harus mampu memantapkan hati dan pikirannya untuk menyerahkan jiwa dan raganya untuk orang yang telah menafkahinya dan tidak berusaha mencari dan berpindah hati yang akan meretakkan mahligai rumah tangga (Sulaksono, 2019, hlm. 95).
Setia terhadap suami menjadi kunci dari tercapainya keluarga yang sakinah dan penuh dengan kasih sayang. Melayani dengan sepenuh hati menjadi bukti bahwa istri benar-benar setia dan patuh terhadap suami. Sebagai imbal baliknya, maka suami juga harus memahami dan sepenuh hati mencurahkan kasih sayangnya kepada istri dan keluarga. Keluarga yang harmonis akan tercapai jika kasih sayang menjadi pondasi dan payungnya (Mufidah, 2008, hlm 45).
3. Mampu Memberikan Keturunan
Mijil 4.6
//Darunanireng Yang Maha Suksci
nganakken ponang wong
jalu estri pan padha perlune
wujud priya lantaraning wiji
estri kang madhahi
kumpul dadi wujud//
Terjemahan :
Sebab Tuhan-lah manusia diciptakan. Pria dan wanita sama-sama membutuhkan satu sama lain. Pria yang membuahkan benih. Dan wanita sebagai tempat bersemainya benih tersebut. Berkumpul melahirkan anak (Al Marie, 2018, hlm. 95).
Wanita dituntut untuk mampu menghasilkan keturunan karena keturunan menjadi hal yang diidam-idamkan dan didambakan kedatangannya oleh sepasang pengantin setelah menikah. Untuk memperoleh keturunan yang perlu dilakukan adalah mengonsumsi makanan yang sehat, ikhtiar, dan meminta kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh. Anak bagi orang Jawa adalah penerus dan penyambung sejarah sehingga kehadiran anak dalam keluarga menjadi hal yang krusial baik untuk kepentingan orang tua di masa kini maupun masa yang akan datang (Greetz, 1983, hlm. 39).
Orang Jawa memiliki pandangan bahwa anak yang berasal dari darah daging sendiri dan anak saudara merupakan buah hati yang harus disayangi. Istilah yang menggambarkan kasih sayang orang tua terhadap anak adalah “tresnane wong tuwa marang anak iku sak dawaning lurung” artinya kasih sayang dan cinta orang tua terhadap anak itu sepanjang jalan. Orang tua tidak akan membeda-bedakan kasih sayang terhadap anak kandung maupun anak angkat atau pupon. Anak pupon biasanya dihadirkan untuk memancing lahirnya anak kandung atau untuk dijadikan teman yang dipersaudarakan dengan anak kandung (Greetz, 1983, hlm. 44).
4. Mampu Menjaga Keharmonisan dalam Rumah Tangga
Dhandhanggula 3
//Tetepana tartamtuning estri
pan pinetri wewadining badan
dadi tertip iku rane
tartip tegese urut
runtut titis wajibing estri
titis bener tegesnya
nering driya iku
ywa liya mring lakinira
raharahen ywa arda driya den manis
ulat wijiling sabda//
Terjemahan :
Tetaplah memegang teguh ketentuan-ketentuan sebagai istri, memelihara rahasia badan, jadi tertib namanya, tertib berarti urut. Tetap dalam melaksanakan kewajiban istri, tetap berarti benar. Pikiran hanya satu tertuju kepada suami. Berusahalan jangan berkeras hati. Hendaklah bersikap manis dalam pancaran air muka maupun keluarnya tutur kata (Al Marie, 2018, hlm. 52).
Keharmonisan rumah tangga bak padi yang di tanam di sawah yang membutuhkan siraman air, tebaran pupuk, dan penyinaran matahari. Untuk mencapai keluarga yang harmonis maka perlu disirami dengan kasih sayang dan cinta yang padu, dipupuk dengan nasihat dan perkataan-perkataan yang manis, serta disinari dengan rahmat serta bimbingan Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dirasuk (Basri, 1999, hlm. 8). Ketiga hal tersebut harus dilaksanakan oleh semua anggota keluarga karena jika yang melaksanakannya hanya seorang saja maka keluarga yang harmonis sulit untuk terbangun. Suami dan istri perlu mengajak anak pula untuk turut serta menyukseskan pembangunan keluarga yang harmonis.
Pilar penting dalam keluarga adalah peran ibu untuk menjaga dan mempererat tali kekeluargaan di antara sesama anggota keluarga. Ibu harus selalu mengajarkan arti pentingnya saudara dan kerukunan antar keluarga baik keluarga inti maupun keluarga luas. Keluarga inti berarti keluarga yang tinggal serumah sedangkan keluarga luas terdiri dari sanak saudara dari garis ayah maupun ibu. Kerukunan antar keluarga akan berdampak terhadap tidak hilangnya hubungan famili sehingga silsilah keluarga akan terus dipertahankan sampai anak turunnya kelak (Greetz, 1983, hlm. 89).
5. Terampil dalam Pekerjaan Rumah dan Merawat Diri
Seorang perempuan memiliki tugas untuk mengatur dan menangani pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu, mencuci, dan merawat anak. Hal tersebut menuntut wanita memiliki sifat yang cepat tanggap, pintar, dan cekatan. Terlebih dalam hal memasak yang sering kali menuntut wanita untuk kreatif dan inovatif untuk menyediakan makanan, hidangan, dan kudapan yang menggugah selera makan. Selain itu wanita juga dituntut untuk bisa bersih diri dan menjaga kecantikannya. Kecantikan seorang seperti emas yang perlu untuk disepuhkan jika warna sudah mulai luntur. Kecantikan wanita juga perlu untuk dirawat dengan menggunakan kosmetik yang dapat mempercantik diri. Yang terpenting ialah mempercantikan badan sampai dengan batin agar luar dan dalam benar-benar bersih dan indah (Soedibjo, 1984, hlm. 14).
Perempuan Jawa dituntut untuk tidak hanya aktif di dalam tetapi juga di luar rumah. Interaksi di luar rumah dapat terjadi karena adanya aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Interaksi sosial yang terjadi di luar rumah menjadikan wanita semakin aktif dan tidak terkungkung untuk urusan domestik saja. Urusan lain yang sekiranya dapat dikerjakan oleh wanita, akan dilakukannya meskipun harus meninggalkan rumah demi membantu ekonomi keluarga (Abdullah, 2001, hlm. 67).
Petuah-petuah dan ajaran tentang wanita harus terampil dalam merawat diri dan terampil dalam urusan rumah tangga terdapat dalam kutipan berikut ini :
Dhandhanggula 1.6
//Driyanira den tentrem ywa gingsir
sarwa bisa wajibing wanita
miranteni busanane
priya myang dhaharipun
ingkang dadi karemaning laki
pinatut wayahira
sarapane esuk
tengange lan lingsir surya
tengah wengi byar esuk sayogya salin
tan bosen mamrih lejar//
Terjemahan :
Tanamkan rasa tentram di hati jangan sampai goyah. Serba bisa melaksanakan tugas dan kewajiban wanita. Menyiapkan baju dan pakaian. Serta melayani kebutuhan makan suami. Mengusahakan sesuatu yang digemari oleh suami. Diwaktu pagi, siang, dan sore usahakan selalu variatif dan tidak monoton. Agar tidak bosan dan jenuh (Al Marie, 2018, hlm. 59).
PENUTUP
Serat Darmarini merupakan salah satu hasil karya sastra tulis yang berbentuk puisi tradisional dengan menggunakan tembang macapat yang terbagi dalam beberapa pupuh yaitu dhandhanggula, asmaradana, kinanthi, mijil, pocung, dan gambuh yang memuat ajaran-ajaran moral bagi kaum wanita yaitu ajaran untuk taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, taat kepada suami dan orang tua, ajaran untuk selalu mampu menjaga kehormatan sebagai seorang istri, ajaran etika kewajiban dalam keluarga: sebagai istri dan ibu, dan ajaran untuk selalu menjaga keharmonisan keluarga.
Serat Daramarini apabila ditinjau kembali ternyata masih memuat ajaran yang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang yaitu dalam hubungan dengan pembangunan dewasa ini, seorang wanita selain bertugas dalam rumah tangga juga dapat mengisi kegiatan diluar rumah, dalam arti juga dapat berperanan dalam masyarakat. Tentunya hal ini tanpa melupakan tugas utamanya membina rumah tangga yang sejahtera lahir dan batin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. (2001). Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta. Tarawang Press.
Al Marie, Bambang Khusen. (2018). Wulang Luhur Kepada Para Wanita: Serat Darmaduhita, Serat Darmarini, dan Serat Wulang Wanita. Jakarta: Balai Pustaka.
Basri, H. (1999). Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Geertz, Hildred. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: PT. Grafiti Pers.
Koentjaraningrat. (1983). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kusbandrijo, Bambang. (2007). Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Surakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Mufidah. (2008). Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Yogyakarta: UIN Malang.
Mulder, Neils. (1996). Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar.
Soedibjo, Moorjati. (1984). Seni Berhias Ngadi Saliro & Ngadi Busono Mustika Ratu oleh Nyonya Moorjati Soedibjo. Jakarta: Mustika Ratu.
Sulaksono, Djoko. (2019). Filsafat Jawa. Surakarta: Yuma Pustaka.
Susanto, Budi. (2000). Prespektif Wanita Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sutrisno, Sulatin. (1981). Relevansi Studi Filologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zoetmulder, P.J. (1983). Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.