Views: 43

Views: 43

Oleh: Keysa Akmal Nurul Aufiani (Siswi Madrasah Aliyah Negeri 1 Kudus, Jawa Tengah)

*Artikel ini merupakan karya tulis peraih Juara 2 dalam “Lomba Esai Siswa Tingkat Nasional” yang diselenggarakan oleh HMP Ganesha Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 21 Mei 2025.

 

PENDAHULUAN

Abad ke-19 merupakan fase penting bagi perkembangan dunia percetakan di Nusantara. Di abad ini, teknologi cetak mulai digeluti oleh kalangan non-Eropa, baik orang-orang Cina, Arab, maupun pribumi (Perret & Ramli, 1998). Sebagai bukti, tahun 1848, sebuah mushaf Al-Qur’an pertama dicetak di Palembang oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah (Akbar, 2011). Pada 1853, terbit kitab berbahasa Arab berjudul Syaraf al-Anam (Kaptein, 1993) yang menurut Martin van Bruinessen (2015) merupakan jenis pustaka keislaman yang paling banyak dibaca oleh kalangan Islam Tradisionalis setelah Al-Qur’an.

Perkembangan penerbitan karya-karya kitab berbahasa Arab yang cukup baik di akhir abad ke-19, justru tidak disusul pada permulaan abad ke-20. Sebaliknya, di periode ini penerbitan karya-karya keislaman non-kitab (buku, koran, dan majalah) justru mencapai puncaknya. Mayoritas diinisiasi oleh kalangan Islam reformis yang membawa ide-ide pembaharuan (Ricklefs, 2013). Pasca kemerdekaan, dunia penerbitan buku di Indonesia semakin bergeliat. Ajip Rosidi (1979) menyebutkan beberapa penerbit yang lahir selama periode ini, seperti Pembangunan, Dian Rakyat, dan Gunung Agung Nusantara yang lebih fokus pada penerbitan sastra dan bacaan popular masyarakat. Di saat bersamaan, penerbitan karya-karya keislaman juga bermunculan, seperti Penerbit Bulan Bintang yang berdiri tahun 1950 di Jakarta. Hampir 95% terbitan Bulan Bintang merupakan buku-buku keislaman dengan total penjualan mencapai 5.000-10.000 ekslemparper edisinya. Penerbit lain adalah Tintamas (1956) yang fokus pada buku-buku keislaman di perguruan tinggi, seperti Sejarah Islam, Tafsir Al-Qur’an, hingga Mutiara Hadits Rasulullah dengan total produksi 30.000 eksemplar per tahun (Jamaluddin, 2021).

Periode pasca kemerdekaan, dunia penerbitan Islam Tradisional (kitab) di Indonesia juga kembali menemukan momentumnya. Muncul beberapa penerbit kitab berbahasa Arab yang didominasi oleh entitas keturunan Arab, diantaranya seperti “Al-Ma’arif” di Bandung tahun 1948 dan “Toha Putera” yang berdiri tahun 1962 di Semarang. Pada 1980, di Singapura berdiri “Penerbit Al-Haramain” yang diinisiasi oleh mantan pegawai “Al-Ma’arif” Bandung. Perlu dicatat disini bahwa, sebelum mengorbitnya Penerbit Toha Putra dan Al-Haramain, terdapat satu penerbit berbahasa Arab yang cukup besar di Jawa Tengah, yaitu Penerbit Menara Kudus yang didirikan pada tahun 1952 oleh seorang pengusaha muslim berlatar belakang tradisionalis bernama Zjainuri Noor (Bruinessen, 1990).

Martin van Bruinessen (1990) mencatat Penerbit Menara Kudus merupakan penerbit non-Arab pertama setelah kemerdekaan untuk karya-karya keislaman berbahasa Arab. Penerbit Menara Kudus memiliki kekhasan tersendiri, karena ia tidak hanya menerbitkan kitab kuning murni, tetapi juga menerbitkan kitab yang mengakomodasi nilai-nilai lokalitas Jawa, berupa kitab terjemahan pegon atau Kitab Makna Gandhul Jawan. Penerbit Menara Kudus juga aktif dalam menerbitkan Al-Qur’an Pojok yang menjadi standar bagi para penghafal Al-Qur’an. Penerbit ini juga memfokuskan usahanya pada produksi kalender “Al-Manak” yang dirumuskan oleh kiai kharismatik, ahli ilmu falak dari Kudus, KH. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi (Nashiih, 2019).

Berdasarkan uraian di atas, bahwa peran Penerbit Menara Kudus yang menjadi perantara tradisi keilmuan keislaman tradisionalis dengan dinamika modernitas. Periode 1952-2005, Penerbit Menara Kudus yang tidak hanya memproduksi karya-karya tradisional, tetapi juga menyediakan transformasi gagasan keislaman. Oleh karena itu, tulisan ini diarahkan untuk menggali peran Penerbit Menara Kudus dalam membumikan tradisi dan menduniakan gagasan dalam transformasi studi Islam tradisional Indonesia.

 

PEMBAHASAN

Latar Belakang Pendirian Penerbit Menara Kudus (Era Zjainuri Noor: 1952-1976)

Lahirnya Penerbit Menara Kudus tidak lepas dari sosok Zjainuri Noor. Pada tahun 1952, Zjainuri Noor mulai merintis usaha percetakannya (Menara Kudus, 1996). Sebagai langkah awal, segera Zjainuri membeli perlengkapan dan alat-alat yang diperlukan yaitu 4 unit mesin, kertas, dan tinta. Keempat mesin tersebut terdiri dari 1 unit mesin cetak Planeta, 2 unit mesin cetak merk Heidelbergh (Letterpress) buatan Jerman, dan 1 unit mesin potong kertas (Agus Yulianto, Wawancara 28 Mei 2024).

Nama menjadi elemen penting bagi Perusahaan untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat. Karena lokasi perusahaan yang dekat dengan Masjid Al-Aqsha, maka Zjainuri Noor meresmikan perusahaan percetakannya dengan nama “Percetakan Menara Kudus” yang resmi berdiri pada 22 Januari 1952. Sebanyak tujuh karyawan bergabung dengan percetakan yang baru dirintis dan Zjainuri Noor sendiri bertindak sebagai pemimpinnya (Akta Notaris Fa. Menara Kudus No. 7 Tanggal 22 Januari 1958: H. Asrori, Wawancara 28 Mei 2024).

Kitab pertama yang diterbitkan oleh Penerbit Menara Kudus adalah Tarikh Awliya’ (1952) karya KH. Bisri Mustofa tahun 1957. Menara Kudus membangun gedung baru di Jalan H.M. Subchan ZE, No. 13, Kudus (Agus Yulianto, Wawancara 28 Mei 2024). Tahun 1960, Menara Kudus menerbitkan satu karya monumental yang mengorbitkan nama dan otoritas keilmuan penulisnya, yakni Kitab al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an al- ‘Aziz karya KH. Bisri Mustofa, Rembang. Kitab ini terdiri atas tiga jilid: jilid pertama berisi tafsir Al-Qur’an dari juz 1-10, jilid kedua terdiri dari juz 11-20, dan jilid ketiga terdiri dari juz 21-30. Sejalan dengan produktivitas yang terus meningkat dan jaringan pemasaran yang kian luas, Menara Kudus akhirnya berkembang menjadi sebuah firma dengan nama resmi “Fa. Menara Kudus” pada tahun 1963. Posisi direktur dipegang Zjainuri Noor, sedangkan posisi wakil direktur diduduki istrinya (Jamaluddin, 2021). Periode 1970-an menjadi masa penting bagi Menara Kudus. Hal ini dikarenakan Menara Kudus mulai menginisiasi penerbitan Al-Qur’an untuk mendampingi jenis terbitan kitab dan buku. Tahun 1973, untuk pertama kalinya, Menara Kudus menerbitkan Al-Qur’an Pojok. Mushaf ini begitu istimewa karena berada di bawah koreksi (tashih) seorang kiai pakar ilmu Al-Qur’an asli Kudus, yakni KH. Arwani Amin. Di kalangan Islam Tradisionalis, beliau dikenal sebagai ulama’ kharismatik yang memiliki otoritas tinggi dalam mata rantai (sanad) hafalan Al-Qur’an dan Al-Qira’t as-Sab’ah (tujuh jenis bacaan Al-Qur’an) di Jawa (Nashiih, 2019).

Selama hampir seperempat abad, Zjainuri Noor berhasil membawa nama Penerbit Menara Kudus ke seantero Indonesia dengan terbitannya, terutama kitab-kitab terjemahan bahasa Jawa pegon dan Al-Qur’an Pojok. Di tengah laju perusahaan yang terus meningkat pada dekade tahun 1960 hingga 1970-an. Pada tahun 1976 Zjainuri Noor wafat. Kepemimpinan Menara Kudus akhirnya dipercayakan kepada putra sulungnya, Hilman Najib (Akta Notaris, Fa. Menara Kudus No. 27 Tanggal 9 Oktober 1980).

Dinamika Penerbit Menara Kudus dalam Merevitalisasi Studi Islam Tradisional di Indonesia

1. Masa Pengembangan Penerbit Menara Kudus (Hilman Najib: 1976-2005)

Pada era kepemimpinan Hilman Najib, jumlah terbitan jenis buku maupun kitab semakin beragam. Tahun 1977, terbit sebuah buku yang berjudul Tarjamah al-Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid al- Fiqh karangan Moh. Adib Bisri. Setahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1978, sebuah buku terjemahan berbahasa Indonesia dari Kitab Ta’lim al-Muta’alim (1978) diterbitkan dengan penerjemahnya, KH. Aly As’ad (Sleman). Memasuki dekade 1980-an, buku-buku yang dicetak oleh Menara Kudus semakin banyak. Buku-buku itu antara lain: Sekitar Masalah Thariqat (Naqasabandiyah) (1980), Fathul Qarib 1 dan 2 (1982 dan 1983), dan Tarjamah Nashaibul Ibad (1983). Pemasaran pusat di Kudus fokus menyuplai wilayah Pantai Utara Jawa, seperti Kudus, Demak, Jepara, dan Pati. Menara Kudus juga menjalin mitra dengan 50 Toko Kitab Independen di seluruh Indonesia, mulai dari Kota Medan di Sumatra Utara, hingga Pontianak di Pulau Kalimantan.

Selain penerbitan buku-buku yang meningkat di dekade 1980- an, dalam kurun waktu yang sama, jumlah produksi kitab-kitab pun tetap banyak. Bahkan tercatat beberapa kitab yang diterbitkan di tahun-tahun ini merupakan kitab-kitab yang berjilid-jilid. Sebagai contoh: Tarjamah Risalah Al-Mu’awanah 3 Jilid (Tasawuf) (1981), Tarjamah Irsyad al-Ibad 10 Jilid (Akhlak) (1983), dan Tarjamah Riyad as-Salihin 15 Jilid (Hadits) (1984). Munculnya kitab terjemahan pegon yang berjilid-jilid itu tidak lepas dari sosok KH. Bisri. Hubungannya dengan Menara Kudus terjalin karena sosok KH. Bisri yang tak lain merupakan kakak iparnya. Produktivitas Kiai Asrori meningkat di masa kepemimpinan Hilman Najib. Hal itu terjadi seiring dengan keilmuannya yang semakin matang (Jamaluddin, 2021).

Selama periode ini, Menara Kudus semakin berkembang baik dalam bidang percetakan dan penerbitannya. Hal ini terjadi karena relasi baik yang dijalin oleh Hilman Najib dengan tokoh-tokoh agama maupun pengasuh-pengasuh pondok pesantren di Kudus dan Jawa pada umumnya. Perkembangan Menara Kudus juga ditandai dengan ekspansi pemasaran hingga ke luar Jaawa bahkan ke Brunei Darussalam. Hilman Najib juga membuka kantor perwakilan pemasaran di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Ketiganya dipegang oleh saudara-saudaranya yang bertugas menjadi penyuplas dan distributor terbitan Menara Kudus di wilayah pemasaran masing- masing (Alexander Yusuf, Wawancara 28 Mei 2024).

Sejumlah prestasi terlihat di era kepemimpinan Hilman Najib. Pada 16 Januari 1998, Percetakan Menara Kudus mendapat pengakuan sebagai “industri” oleh dua Menteri era Orde Baru: Hartarto (Menteri Perindustrian) dan Sudono (Menteri Ketenagakerjaan). Sejak 1 Februari 1991, Percetakan Menara Kudus telah tercatat sebagai peserta jaminan asuransi kecelakaan diri bagi perusahaan di daerah tingkat 1 Jawa Tengah dari PT. Asuransi Umum Bumiputera. Selama 22 tahun kepemimpinan Hilman Najib, Penerbit Menara Kudus semakin menunjukkan taji nya sebagai penerbit ungguL di bidang kitab-kitab pesantren maupun buku-buku keagamaan. Berkaitan dengan kondisi kesehatan Hilman Najib yang semakin memburuk, maka pada 26 Juli 2005, kepemimpinan Menara Kudus diserahkan kepada Muhammad Shofin yang merupakan adik kandung Hilman Najib (Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Komanditer, Fa. Menara Kudus No. 55 Tanggal 26 Juli 2005).

2. Jenis Terbitan Menara Kudus Tahun 1952-2005

Jenis terbitan pertama yang diproduksi oleh Penerbit Menara Kudus adalah kitab dan buku. Kitab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kitab kuning, kitab pegon, dan Kitab Makna Gandhul Jawan. Ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda dan format kitab yang beragam. Kitab Kuning merupakan salah satu produk terbitan Menara Kudus. Terbitan kitab kuning dijilid dengan model korasan, yaitu lembaran-lembarannya yang terpisah. Kitab kuning berisi dua komponen penting, yakni matan (teks yang lebih tua) dan syarah (penjelasan atas matan), terkadang dilengkapi hasyiyah (komentar atas syarah). Kitab jenis kedua yang diterbitkan oleh Menara Kudus adalah kitab pegon. Formatnya tidak berbeda seperti penulisan buku pada umumnya. Jenis kitab berikutnya yang diterbitkan oleh Menara Kudus adalah Kitab Makna Gandhul Jawan, kitab ini memiliki dua model yaitu kitab terjemahan per kata saja dan kitab terjemahan perkata dan penjelasan singkat (Jamaluddin, 2021).

Jenis terbitan kedua Penerbit Menara Kudus adalah Al-Qur’an Pojok. Menara Kudus pertama kali menerbitkan Al-Qur’an tahun 1973. Al-Qur’an Pojok yang diterbitkan oleh Menara Kudus merupakan bentuk salinan dari Al-Qur’an Bahriyyah (Turki) yang dimiliki oleh KH. Arwani Amin. Setelah ditulis ulang, kemudian Al- Qur’an salinan itu diserahkan kepada KH. Arwani Amin, KH. Hisyam Hayat, dan KH. Sya’roni Ahmadi untuk di-tashih (diperiksa kebenarannya) (Nashiih, 2019). Ciri lain yang menyertai Al-Qur’an Menara Kudus adalah terlampirnya keterangan mengenai hal ihwal Al-Qur’an dan pembacanya yang ditulis KH. Arwani dan KH. Sya’roni Ahmadi dengan menggunakan huruf pegon. Keterangan ini terletak setelah Do’a Khotmil Qur’an (Al-Qur’an Pojok Menara Kudus, 1992).

Produk ketiga terbitan Menara Kudus adalah Almanak Menara yang terbit sejak era kepemimpinan Zjainuri Noor (tahun 1955). Almanak Menara ini cukup di kenal di kalangan Islam Tradisionalis, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun ulama yang menjadi sosok di balik Almanak Menara adalah KH. Turaichan Adjuri Asy-Syarofi. Kiai Turaichan dikenal sebagai pakar ilmu Falak. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya, KH. Sirril Wafa, yang dalam Almanak Menara menggunakan nama lain Ibnu H. Tadjussyarof (Abdul Mufid, Wawancara 28 Mei 2024).

3. Kontribusi Penerbit Menara Kudus dalam Membumikan Tradisi Ajaran Islam Tradisionalis di Indonesia (1952-2005)

Hadirnya Penerbit Menara Kudus menjadikan peran sebagai penerbit yang menyediakan kitab-kitab yang digunakan dalam kebiasaan slametan seperti buku tahlil, Yasin, Manaqib, dan Al- Barzanji. Perlu diingat bahwa betapa pentingnya modin (petugas agama di desa) yang memiliki peran sebagai penggerak slametan dan ritual keagamaan di perdesaan-perdesaan Jawa, maka Penerbit Menara Kudus menerbitkan sebuah kitab untuk pegangan mereka dalam menjalankan tugasnya. Kitab ini berjudul Primbon Imam ad-Din (tt) karangan KH. Bisri Mustofa Rembang.

Tidak hanya itu, Menara Kudus juga memperkenalkan kitab pegangan yang membentengi ajaran Islam tradisionalis seperti menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an dan doa kepada orang yang meninggal dunia, sertaa jumlah rakat salat tarawih, terutama dalam ajaran-ajaran yang menimbulkan pro-kontra dengan Islam modernis. Salah satu kitab tersebut adalah karangan KH. Ali Maksum yang berjudul doa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (1998). Menara Kudus juga menerbitkan buku berjudul Sebuah Jawaban Bahwa Kitab Manakib(Syekh Abdul Qadir Jaelani) Tidak Merusak Akidah Islamiyah (1989) karya KH. Imron Abu Amar sebagai penyokong ritual keagaaman Islam tradisionalis

4. Peran Penerbit Menara Kudus dalam Menduniakan Gagasan Keilmuan Kalangan Islam Tradisionalis

Penerbit Menara Kudus hadir membawa perubahan besar dalam tradisi keilmuan di Pondok Pesantren. Naskah yang semula hanya bisa diakses oleh kiai dan santri, kini bisa menjangkau pembaca yang lebih luas setelah diterbitkan oleh Menara Kudus secara massal. Menara Kudus mengemukakan bahwa dalam penerbitan didasarkan atas “misi mengembangkan Islam lewat buku-buku agama”. Pernyataan ini dikuatkan dalam kata pengantar KH. Bisri Mustofa dalam kitab karangan KH. Asrori Ahmad berjudul Tashil ar-Rafiqfi Tarjamah Sullam at-Taufiq yang berbunyi: “…Kitab yang diberi nama Tashil ar-Rafiq ini membahagiakan bagi mereka yang menggunakannya. Cara dan bahasanya mempermudah bagi mereka yang mempelajarinya. Begitu juga para murid-murid yang ada di madrasah-madrasah ataupun di pondok-pondok. Lebih-lebih bagi Masyarakat desa yang tidak memiliki waktu yang memadai untuk menuntut ilmu”. Rembang, 5 Rajab 1382 Hijriyah (Ahmad, 1962). Terlihat pada buku terjemahan yang diterbitkan tahun 1962 tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan para santri di pesantren saja, tetapi juga masyarakat awam yang tidak memiliki akses belajar di pesantren. Hal tersebut menegaskan bahwa Penerbit Menara Kudus memiliki peran dalam proses persebaran pengetahuan keislaman di Indonesia, sebagai contoh Al-Nibrasiyyah Syarah al-Ajurumiyyah fi al-Nahwu (Nahwu) karangan KH. Bisri Mustofa (sebelum 1960) yang banyak dikaji di Indonesia.

Sepanjang kepemimpinan Zjainuri Noor (1952-1976) Menara Kudus mengorbitkan beberapa nama Kiai NU, seperti KH. Mustamir (Kajen, Pati), KH. Ahmad Fauzan Zein Muhammad (Rembang), KH. Muhammad Hammam Nashiruddin (Magelang), dan KH. Bisri Mustofa (Rembang). KH. Bisri Mustofa merupakan ulama yang paling produktif menulis di Menara Kudus, khususnya pada Makna Gandhul Jawan (Jamaluddin, 2018). Kiai Basri yang lahir pada tahun 1915 di Rembang merupakan tokoh politikus, organisatoris NU, dan terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menorehkan ratusan karyanya di bidang keagamaan (Isa, 2018). Secara umum karya-karyanya terbagi menjadi empat, yaitu karya berbahasa Jawa dalam hurufpegon, karya berbahasa Indonesia dalam huruf Latin, karya berbahasa Indonesia dalam huruf pegon, dan karya terjemahan bahasa Jawa dalam huruf pegon. Beberapa karya monumentalnya antara lain: Tarikh Awliya’ (1952), Syi’ir Ngudi Susilo (1954), Rawihat al-Aqwam Kangge Ngertosi Nazam Aqidah al- ‘Awwam (1957), dan Tafsir al-Ibriz 30 Juz (1960).

Sepanjang kepemimpinan Zjainuri Noor (1952-1976), Menara Kudus mengorbitkan beberapa nama kiai NU, seperti KH. Mustamir (Kajen), KH. Ahmad Fauzan Zein Muhammad (Rembang), KH. Muhammad Hammam Nashiruddin (Magelang), dan KH. Bisri Mustofa (Rembang). KH. Bisri Mustofa merupakan ulama yang paling produktif menulis di Menara Kudus, khususnya Makna Gandhul Jawan. Kiai Bisri yang lahir pada tahun 1915 di Rembang merupakan tokoh politikus, organisatoris Nahdlatul Ulama, dan terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menorehkan ratusan karyanya di bidang keagamaan (Isa 2018). Secara umum karya-karyanya terbagi menjadi empat, yaitu karya berbahasa Jawa dalam huruf pegon, karya berbahasa Indonesia dalam huruf Latin, karya berbahasa Indonesia dalam huruf pegon, dan karya terjemahan bahasa Jawa dalam huruf pegon. Beberapa karya monumentalnya antara lain: Tarikh Awliya’ (1952), Syi’ir Ngudi Susilo (1954), Rawihat al-Aqwam Kangge Ngertosi Nazam Aqidah al-‘Awwam (1957), Al-Azwad al-Mustafawiyah fi Tarjamah al-Arba’in an-Nawawiyah (1956), dan Tafsir al-Ibriz 30 Juz (1960).

Di era kepemimpinan Hilman Najib (1976-2005), tercatat beberapa kiai menerbitkan kitabnya di Menara Kudus, diantaranya KH. Muhammad Azhari Hanbali (Demak), KH. Abi Muhammad Sholeh (Pati), dan KH. Asrori Ahmad (Magelang). Nama yang disebut terakhir adalah kiai yang paling produktif semasa Hilman Najib. Kiai yang lahir di Tempuran, Magelang tahun 1923 ini menyumbang sekitar 50-an judul kitab, yang sebagian besar merupakan terjemahan pegon dari kitab kuning yang diajarkan di pesantren. Karya besar Kiai Asrori antara lain: Nur ad-Duja fi Tarjamah Safinah an-Najah (1961), Tarjamah Risalahal-Mu’awanah (1979), Tarjamah Mawlid Al-Barzanji (1982), dan Tarjamah Irsyadul Ibad (1982). Selama era Hilman Najib, Menara Kudus semakin berkembang dalam bidang percetakan maupun penerbitannya. Hal tersebut terjadi karena relasi baik yang dijalin oleh Hilman Najib dengan tokoh-tokoh agama maupun pengasuh-pengasuh pondok pesantren di Kudus dan Jawa pada umumnya.

Hadirnya Menara Kudus juga membawa dampak pada terpeliharanya keberlangsungan pondok pesantren. Martin van Bruinessen (1990) mengemukakan bahwa di awal tahun 1990-an jumlah judul kitab kuning yang digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia mencapai 120 judul buku. Jumlah itu meliputi 16 disiplin keilmuan, yaitu Shaf Nahwu, Balaghah, Tajwid, Manthiq (logika) Fikih, Ushul Fikih, Akidah, Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Akhlak, Tasawuf, Sirah, kitab ekstra (Manaqib, ritual, dan ilmu gaib). Dari jumlah 120 judul kitab tersebut, Menara Kudus telah menerbitkan versi terjemahannya sebesar 25% atau sekitar 30 judul kitab.

Menara Kudus dalam menerbitkan karya-karya kiai membuat penerbit memainkan peran kultural lainnya, yaitu peran dalam melestarikan bahasa Jawa dalam huruf pegon. Pada awal keberadaannya, Penerbit Menara Kudus aktif menerbitkan kitab pegon dengan judul pertamanya, “Tarikh Awliya’: Tarikh Walisanga” (1952) karangan KH. Bisri Mustofa (Rembang). Sepanjang periode Zjainuri Noor (1952-1976) hampir semua terbitan Menara Kudus didominasi oleh kitab pegon, baik dalam terbitan kitab pegon, maupun Kitab Makna Gandhul Jawan. Total jumlah kitab pegon yang diidentifikasi diterbitkan sepanjang masa Zjainuri Noor adalah 22 kitab. Di periode Hilman Najib, penerbitan kitab pegon yang dilakukan oleh Menara Kudus semakin meningkat. Dari tahun 1976 hingga 1990-an, Menara Kudus menerbitkan 14 kitab pegon. Dalam katalognya sendiri, Menara Kudus telah menerbitkan kitab pegon sebanyak 75 kitab. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal rintisannya hingga periode pengembangannya, Penerbit Menara Kudus memiliki andil yang besar dalam pelestarian bahasa Jawa berhuruf pegon (Jamaluddin, 2024).

Khusus terbitan Al-Qur’an, Menara Kudus memunculkan satu kiai kharismatik pakar Al-Qur’an, yakni KH. Arwani Amin. Al- Qur’an awal terbitan Menara Kudus merupakan penulisan ulang dari mushaf milik Kiai Arwani yang biasa digunakan di pondok-pondok tahfidz. Adapun ulama yang menjadi sosok di balik Almanak Menara adalah KH. Turaichan Adjuri Asy-Syarofi. Beliau adalah kiai asli Kudus yang dikenal sebagai pakar ilmu falak di Indonesia (Abdul Muhfid, Wawancara 16 Agustus 2024).

KESIMPULAN

Penerbit Menara Kudus adalah salah satu bisnis percetakaan kitab dan buku keislaman tradisional yang legendaris di Indonesia. Penerbit Menara Kudus didirikan oleh Zjainuri Noor pada 22 Januari 1952. Periode Zjainuri Noor merupakan awal rintisan dengan ciri khas terbitan utamanya berupa kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf pegon. Periode Hilman Najib (1976-2005) merupakan masa pengembangan perusahaan dengan terbitan yang makin beragam. Terdapat tiga jenis terbitan Menara Kudus, yaitu kitab (kitab kuning, kitab pegon, dan Kitab Makna Gandhul Jawan), Al-Qur’an Pojok, dan Almanak Menara. Sejak 1952 hingga 2005. Penerbit Menara Kudus telah memberi dampak kultural sebagai membumikan tradisi, menduniakan gagasan, transmitter ilmu pengetahuan keislaman, pengorbit karya kyai-kyai pesantren, penjaga kesinambungan pondok pesantren, dan pelestari bahasa Jawa berhuruf pegon. Peran tersebut menegaskan posisi Penerbit Menara Kudus dalam dinamika keilmuan tradisional, bukan hanya di tingkat lokal, namun turut menduniakan wacana keislaman tradisional ke ruang global.

 

 

Daftar Pustaka

Arsip:

Akta Notaris Perubahan Anggaran Dasar Perseroan di Bawah Firma Menara Kudus No.7 tertanggal 22 Januari 1958.

Akta Notaris Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Komanditer di Bawah Firma Menara Kudus No. 27 tertanggal 9 Oktober 1980. Almanak Menara Kudus, Tahun 1970 dan 1980.

Arsip Jaminan Asuransi Percetakan Menara Kudus dari PT Asuransi Umum Bumiputera tertanggal 1 Februari 1991.

Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Komanditer di Bawah Firma Menara Kudus No. 55 tertanggal 26 Juli 2005.

Kitab, Buku, dan Jurnal:

Ahmad, A. (1961). Nur al-Dujafi Tarjamah Safinah an-Najah. Kudus: Menara Kudus

Ahmad, A. (1981). Tarjamah Risalah al-Mu’awanah. Kudus: Menara Kudus.

Ahmad A. (1962). Tashil al-Rafiq fi Tarjamah Sullam at-Taufiq. Kudus: Menara Kudus.

Akbar, A. (2011). Pencetakan Mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Suhuf, 4 (2), 271-287. Diperoleh pada 2 Juni 2024 dari http://jumalsuhuf.kemenag.go.id/index.php/suhuf/article/download/5 7I56.

Al-Qur’an. (1992). Kudus: Menara Kudus.

Amar, I.A. (1989). Sebuah Jawaban Bahwa Kitab Manaqib (Syeikh Abdul Qadir Al- Jaelani) Tidak Merusak Aqidah Isalamiyyah. Kudus: Menara Kudus.

Bisri, M. A. (1977). Terjemah al-Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawa-id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.

Burhanudin, J. (2004). The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia. Studia Islamika, 1H (1), 23-62. Diperoleh 2 Juni 2024 dari https://joumal.uinjkt.ac.id/index.php/studia- islamika/article/view/652/506.

Isa, Y. (2018). Pendidikan Karakter Kebangsaan dalam Syiir Ngudi Susilo dan Syiir Mitra Sejati Karya KH. Bisri Mustofa Rembang. Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 23 (2), 217-238.

Diperoleh 3 Juni 2024 dari https://e.journal.metrouniv.ac.id/index.php/akademika/article/vie w/1164.

Jamaluddin, J. (2018). Kitab Jawan Sebagai Pelestari Bahasa Jawa: Studi Kasus Kitab Terbitan Menara Kudus, 1952-1990-An. Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, 4 (2), 399-413. Diperoleh 2 Juni 2024 dari https://doi.org/10.36869/pjhpish. v4i2.59.

Jamaluddin. (2021). Menara Kudus: Riwayat Sebuah Penerbit. Yogyakarta: Penerbit Gading.

Kaptein, N. (1993). An Arab printer in Surabaya in 1853. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, (2de Afl), 356-362. Diperoleh 1 Juni 2024 dari https://brill.com/downloadpdf/journals/bki/149/2/article- p356_8.pdf.

Maksum, A. (1998). Hujjah Ahl as-Sunnah wa al-Jama ah. Kudus: Menara Kudus.

Menara Kudus. (1996). Sejarah Berdirinya Percetakan dan Penerbitan Fa. Menara Kudus. Kudus: Percetakan Menara Kudus.

Mustofa, B. (1952). Tarikh Auliya: Tarikh Walisanga. Kudus: Menara Kudus.

Mustofa, B. (1954). Syiir Ngudi Susilo. Kudus: Menara Kudus.

Mustofa, B. (1957). Rawihatal-Aqwam Kangge Ngertosi Nazam Menara Kudus.

Mustofa, B. (1960). Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-‘Aziz. Kudus: Menara Kudus.

Mustofa, B (Tt). Primbon Imam ad-Din. Kudus: Menara Kudus.

Nashiih, A. (2019). Sejarah & Karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus. Kudus: Mubarokatan Thayyibah.

Nashiruddin, H. (1963). Tafhim al-Muta’allim fi Tarjamah Ta’lim al- Muta’alim. Menara Kudus, Kudus.

Perret D., Puteri R.M.R., ed. (1998). Hubungan Budaya dalam Sejarah Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ricklefs, M.C. (2013). Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Rosidi, A. (1979). Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra Indonesia. dalam “Prisma, Vol. 7.

Van Bruinessen, M. (1990). Kitab kuning: Books in Arabic script used in the pesantren milieu: Comments on a new collection in the KITLV library. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, (2/3de Afl), 226-269. Diperoleh 1 Juni 2024, dari https://www.jstor.org/stable/27864122.

Van Bruinessen, M. (2015). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing.

Wawancara

Abdul Muhfid (Staff Editor Penerbit Menara Kudus), wawancara 28 Mei 2024. Agus Yulianto (Manager Produksi Penerbit Menara Kudus), wawancara 28 Mei 2024.

Alexander Yusuf (Manager Personalia Penerbit Menara Kudus), wawancara 28 Mei 2024

Asrori (Penasehat dan Karyawan Penerbit Menara Kudus), wawancara 28 Mei 2024.

Komentar