Oleh: Valentinus Gigih Jalu Laksitanto (Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2022)
Judul : Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Bagian 1 (Pendidikan)
Penulis : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Penerbit: UST-Press
Tahun Terbit : 2013
Jumlah halaman : xxiv + 552
ISBN : 978-602-17212-3-0
Buku ini merupakan manifestasi pemikiran dari tokoh penting pendidikan Indonesia, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara (1889-1959). Sumbangsih Ki Hajar Dewantara dalam perkembangan pendidikan nasional sangatlah kental dan masih bisa dirasakan hingga saat ini, pemikiran-pemikiran seperti dan konsep manusia merdeka masih membekas dalam corak pendidikan nasional kita. Buku yang diterbitkan oleh UST-Press pada tahun 2013 ini secara khusus membahas mengenai pemikiran, konsepsi, keteladanan, dan sikap merdeka yang didasarkan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam seri buku pertamanya. Sumber-sumber yang digunakan dalam buku ini sebagian besar merupakan sumber primer berupa arsip dan dokumen terkait Taman Siswa yang dirilis pada awal hingga pertengahan abad ke-20. Pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi delapan bab yang secara umum berfokus pada pendidikan nasional yang ideal menurut Ki Hajar Dewantara. Resensi buku akan difokuskan terhadap topik yang menurut penulis cukup penting. Pendidikan nasional yang dalam hal ini didasarkan pada pandangan ideal Ki Hajar Dewantara berdasarkan nilai-nilai lokal bangsa Indonesia.
Pertama, Ki Hajar Dewantara menekankan mengenai pendidikan sebagai pengajaran nasional yang berarti dengan mendidik anak sama dengan mendidik rakyat. Tindakan ini sebagai upaya memerdekakan manusia secara lahir dan batin serta menanamkan nilai-nilai lokal di dalam pengajarannya sehingga menciptakan insan merdeka, cinta tanah air, dan dapat turut berkontribusi dalam mengembangkan persatuan, kesatuan, serta tanah airnya. Pengajaran nasional merupakan hak dan kewajiban bagi bangsa Indonesia. Pendidikan pada masa itu harus tetap berjalan meskipun tak menerima subsidi, untuk menyikapi ini munculah dana bantuan yang digalang demi melancarkan upaya pendidikan ini. Beasiswa juga terlihat dipergunakan pada murid-murid berprestasi yang miskin.
Ki Hajar Dewantara menekankan penanaman pendidikan budi pekerti yang kuat, hal ini terlihat dari ko-edukasi dan ko-instruksi anak sesuai pembabakan umur yang didasarkan kepada keperluan teladan anak. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara menjabarkan bagaimana anak laki-laki dan perempuan harus dikenalkan dalam pendidikan. Anak-anak tersebut sangat dianjurkan untuk didekatkan dalam lingkungan pendidikan hingga umur 14 tahun, memasuki umur 14 hingga 16 sudah harus mulai diawasi pergaulannya terlebih lagi anak perempuan. Pendidikan terkait gender ini terbilang penting untuk membentuk karakter anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Pembahasan dilanjutkan dengan topik terkait lembaga pendidikan asli Indonesia yakni Sekolah Taman Siswa yang dalam implementasinya juga bekerja sama dengan organisasi-organisasi nasional setempat, sekolah Taman Siswa terbagi menjadi Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara, dan Taman Dewasa yang secara keseluruhan bertujuan mengangkat derajat rakyat dan negara. Resmi didirikan pada 1922 dan tersebar di berbagai provinsi Nusantara, bahkan di Sumatra dan Borneo. Budi pekerti diajarkan melalui ilmu hidup batin, jasmani, etika dan moral, estetika, serta ikhtisar cara-cara pendidikan. Pembelajaran dalam Taman Siswa ini dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia dan terdapat tiga fatwa di dalamnya yakni: Tetep, antep dan mantep (pendidikan harus memiliki konsistensi, bobot kualitas, dan komitmen yang kuat), ngandel, kandel, kendel, dan bandel (pendidikan bertujuan membentuk kepercayaan diri, ketahanan mental, keberanian, dan keteguhan pendirian pada siswa), dan neng, ning, nung, dan nang (pendidikan yang baik membutuhkan ketenangan jiwa, kejernihan pikiran, dan kemampuan untuk mencapai keunggulan).
Pembelajaran di Sekolah Taman Siswa selain selain mengharuskan anak belajar di sekolah, anak-anak juga harus memperoleh pendidikan melalui lingkup keluarga dan masyarakat sekitar. Konsep ini dinamakan sebagai sistem Trisentra pendidikan. Menurut konsep ini pendidikan tidak hanya bersumber dari satu tempat saja, misalnya melalui lingkup keluarga pendidikan yang diperoleh adalah budi pekerti dan laku sosial, perguruan (sekolah) memberikan ilmu pengetahuan, dan melalui pergerakan pemuda (masyarakat) membentuk watak.
Sekolah Taman Siswa juga mengadaptasi konsep konvergensi yang berarti menggunakan pendekatan multidisiplin dan kontekstual (tidak hanya akademik saja), mengintegrasikan budaya dan komunitas, personalisasi dan kemandirian dalam belajar, fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan, serta pembelajaran yang dilandaskan pada nilai dan etika. Konsep konvergensi ini menandakan bahwa Taman Siswa bukan merupakan sekolah yang kaku melainkan sekolah yang fleksibel dalam memenuhi kebutuhan bangsa sekaligus menyesuaikan perkembangan zaman.
Pembahasan terkait pendidikan nasional yang dipaparkan oleh Ki Hajar Dewantara sangatlah merepresentasikan unsur-unsur kebangsaan Indonesia di dalamnya, cita-cita bangsa Indonesia akan kemerdekaan juga menjadi landasan dari idealisme pendidikan tersebut. Penekanan unsur kognitif (cipta), afektif (rasa), dan psikomotorik (karsa) juga terukir jelas dalam pembelajarannya. Pendidikan nasional tersebut juga tidak membatasi lingkungan belajar anak pada sekolah saja sehingga memberi ruang bagi anak untuk menginterpretasikan ilmu dari berbagai sumber, hal ini didukung dengan konsep konvergensi yang memungkinkan lembaga pendidikan yang fleksibel dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Akhir kata, buah pemikiran Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan ini nyatanya masih sangat relevan dengan realita pendidikan Indonesia bahkan hingga di era modern saat ini.
Terima kasih ringkasan bukunya, sangat bermanfaat, perlu dipahami, dan ditindaklanjuti. Ditunggu rangkuman Jilid 2, ya.