Oleh: Muhammad Rakha Khairunafi’ (Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2022)
Biografi Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar hingga kini tetap dikenang sebagai sosok yang legendaris, kontroversial, dan penuh misteri di tanah Jawa. Kontroversi dan misteri ini muncul karena tidak adanya kepastian mengenai berbagai aspek kehidupannya, seperti tahun kelahiran, kematian, dan konflik yang terjadi antara dirinya dengan Walisongo. Hal ini terjadi karena Jenar tidak pernah menulis gagasan atau kisah hidupnya dalam bentuk tulisan, sehingga muncul berbagai versi tentang dirinya (Fahrurrozi & Sitorus, 2023).
Beliau hidup pada abad ke-16 Masehi (1348-1439 H / 1426-1517 M). Dalam sejarah, beliau dikenal dengan banyak nama, tercatat ada 16 gelar yang dimilikinya. Beberapa nama yang terkenal antara lain San Ali, Syekh Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar (Sholikhin, 2011). Nama-nama tersebut bukan berarti syekh Siti Jenar suka berganti-ganti nama, namun nama-nama tersebut diberikan oleh orang lain yang diambil dari nama tempat Siti Jenar menyebarkan ajarannya (Chodjim, 2013). Nama terakhir memiliki makna filosofis yang mencerminkan ajaran beliau tentang “Sangkan-Paran,” yang mengajarkan bahwa manusia secara biologis hanya berasal dari tanah merah, sementara yang lebih penting adalah Zat Allah SWT (Sholikhin, 2011).
Syekh Siti Jenar gemar melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengajarkan agama Islam. Di setiap tempat yang dikunjunginya, beliau selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya lokal, sehingga ajaran-ajarannya dapat diterima oleh masyarakat. Di beberapa lokasi, beliau mendirikan pesantren-pesantren kecil sebagai sarana untuk mengajarkan agama kepada masyarakat setempat. Selain itu, beliau juga melatih utusan-utusan dari daerah yang menerima ajarannya untuk memperdalam ilmu agama di padepokan atau pesantren beliau. Setelah dianggap cukup menguasai pengetahuan agama, utusan-utusan tersebut kemudian dikirim kembali ke daerah asal mereka untuk mengajarkan agama kepada masyarakat lainnya. Syekh Siti Jenar menolak untuk menetap di satu tempat terlalu lama, meskipun banyak penguasa daerah yang menawarkan tempat untuk dijadikan padepokannya. Namun, beliau menerima tawaran dari Ki Ageng Pengging untuk mendirikan padepokan di Pengging. Di sana, beliau mendirikan pesantren atau padepokan di tempat yang disediakan oleh Ki Ageng Pengging, yang saat itu menjabat sebagai penguasa Kadipaten Pengging. Padepokan tersebut menjadi pusat pembelajaran agama Islam bagi para pengikutnya (santri), masyarakat umum, serta para pembesar dan keluarga mereka di bekas wilayah Majapahit. (Anggrajaya, 2021).
Pada dasarnya, identitas dan asal-usul Syekh Siti Jenar hingga kini masih belum jelas, dan belum ada sumber yang dianggap sahih. Dalam beberapa publikasi, nama Jenar terkadang disebut sebagai Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedangkan Brit berasal dari kata Abrit yang berarti merah, yang serupa dengan arti kata Abang yang juga berarti merah (Derani, 2020).
Pemikiran Syekh Siti Jenar
Pandangan Siti Jenar tentang Tuhan sangat terkait dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti. Pemahamannya mengenai ketuhanan bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang makna dari konsep Manunggaling Kawula Gusti (Muryanto, 2004). Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap sangat liberal dan kontroversial. Beliau dipandang menentang arus utama keagamaan yang dibangun melalui kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara di bawah pimpinan Raden Fatah dan para agamawan dari Wali Songo (Mulyani, 2006). Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman agama yang didasarkan pada hawa nafsu, serta mengajarkan dan menyiarkan agama Islam sesuai dengan pandangannya sendiri (Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, 2006).
Pada kenyataannya, Syekh Siti Jenar memandang Tuhan sebagai wujud yang tidak bisa dilihat dengan mata, dilambangkan seperti bintang-bintang yang bersinar terang dengan warna yang sangat indah (Mulkhan, Pergumulan Islam-Jawa, 1999). Tuhan memiliki dua puluh sifat, yang semuanya terkumpul dalam satu wujud mutlak yang disebut “zat”. Zat Allah merupakan simbol keselamatan, bersifat sangat halus, dan sabdanya berlangsung terus-menerus. Tuhan tidak pernah berdusta (Purwadi, 2004).
Syekh Siti Jenar memandang konsep jasmani sangat terkait dengan jasad, yang berhubungan erat dengan kehidupan dan kematian. Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan umum yang ada. Menurutnya, kehidupan ini adalah kematian, sementara kehidupan sejati adalah kehidupan yang kekal dan abadi, yang tidak terikat pada jasad, karena jasad pada akhirnya akan hancur menjadi tanah. Selain itu, roh manusia terperangkap dalam tubuh, yang menyebabkan penderitaan bagi diri manusia itu sendiri. Bagi Syekh Siti Jenar, tubuh atau jasad adalah sumber banyak penyesatan. Jiwa yang terperangkap dalam jasad mengalami banyak penderitaan karena tubuh terus menyeret jiwa untuk memenuhi segala keinginan jasmani. Sebagai contoh, jiwa tidak membutuhkan makanan, namun ketika tubuh merasa lapar, jiwa dipaksa untuk memenuhi kebutuhan tubuh tersebut. Untuk memenuhi keinginan-keinginan fisik, manusia rela melakukan apa saja, meskipun itu bertentangan dengan kehendak jiwa. Perilaku semacam ini, menurut Syekh Siti Jenar, menyebabkan jiwa mengalami siksaan dan penderitaan (Otoman, 2020).
Dalam ajarannya, para pengikut Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa beliau tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Makna dari Manunggaling Kawula Gusti dipahami bukan sebagai percampuran Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan sebagai pengertian bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembalinya semua makhluk. Dengan kembali kepada Tuhan, manusia telah menyatu dengan-Nya (Anggrajaya, 2021).
KESIMPULAN
Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang legendaris, kontroversial, dan misterius dalam sejarah Islam di Jawa. Meskipun tidak ada kepastian tentang asal-usul dan kehidupan beliau, pemikiran dan ajarannya telah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan Islam di Jawa. Ia dikenal dengan ajaran yang sangat liberal dan sering dianggap bertentangan dengan ajaran mainstream Islam yang diterima oleh Wali Songo dan Kerajaan Demak. Ajarannya, terutama tentang konsep Manunggaling Kawula Gusti, menekankan kesatuan antara Tuhan dan makhluk-Nya, namun tidak dengan cara yang dimengerti oleh kebanyakan orang.
Syekh Siti Jenar menyesuaikan ajaran Islam dengan budaya lokal Jawa, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Namun, pendekatan ini juga memunculkan risiko ketidakdiakuiannya oleh kelompok yang ingin mengamalkan Islam sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Pemikiran beliau yang menganggap kehidupan di dunia ini sebagai kematian dan kehidupan sejati sebagai kehidupan yang abadi dan bebas dari jasad, menunjukkan pandangan spiritual yang sangat berbeda dengan pandangan umum.
Selain itu, meskipun Syekh Siti Jenar tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan, ajaran Manunggaling Kawula Gusti dianggap oleh pengikutnya sebagai pemahaman tentang kesatuan makhluk dengan Tuhan, di mana manusia, dengan kembali kepada Tuhan, telah mencapai kesatuan dengan-Nya. Meskipun kontroversial, ajaran beliau tetap menjadi bagian penting dari sejarah religiositas masyarakat Jawa, yang mencerminkan pencarian spiritual dalam konteks budaya lokal.
Artikel ini menekankan pentingnya pemahaman yang objektif dan mendalam tentang ajaran Syekh Siti Jenar, terutama dalam mengurangi kesalahpahaman dan kontroversi seputar konsep Manunggaling Kawula Gusti, serta bagaimana ajaran beliau mencerminkan integrasi nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal.
Daftar Pustaka
Anggrajaya, S. (2021). Pemikiran Pendidikan Islam Raden Patah dan Siti Jenar. An-Nafah: Jurnal Pendidikan dan Keislaman, 1(1), 30-39.
Chodjim, A. (2013). Syekh Siti Jenar: Makrifat Kasunyatan.
Derani, S. (2020). Syekh Siti Jenar: Pemikiran dan Ajarannya. Buletin Al-Turas, 20(2), 325–348.
Fahrurrozi, & Sitorus, N. J. (2023). Ajaran Tarekat Syekh Siti Jenar. EKHSIS: Jurnal Ekonomi, Syariah dan Studi Islam, 1(1), 1-11.
Mulkhan, A. M. (1999). Pergumulan Islam-Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Mulkhan, A. M. (2006). Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mulyani, S. (2006). Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.
Muryanto, S. (2004). Ajaran MANUNGGALING KAWULA-GUSTI (A. Kusuma Djaya Hadi Purwanto (Ed.)). Kreasi Wacana.
Otoman. (2020). Pluralisme Agama dalam Pemikiran Syekh Siti Jenar. Ampera: A Research Journal on Politics and Islamic Civilization, 1(2), 107-125.
Purwadi. (2004). Gerakan spiritual Syekh Siti Jenar. Media Abadi.
Sholikhin, M. (2011). Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo. Jakarta: Erlangga.
Mantappp
Setuju,, justru di sini syekh Siti jenar mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya. Yang kebanyakan orang tIdak sadar dengan konsep kesadaran yang sebenarnya. Karna sudah terdoktrin ajaran ajaran lainnya.
Wallahualambishshowab
Alhamdulillah, Syukron jazakillah katsiron atas tulisannya.. sangat terbantu, suamiku sangat mengidolakan & mengikuti ajaran Beliau (Syekh Siti Jenar). Indah banget klw kita memahami & memasuki Paham ini.. terimakasih ya🙏🙏
[…] MANUNGGALING KAWULA GUSTI: SUFISME SYEKH SITI JENAR – Laman Resmi S1 Pendidikan Sejarah FKIP UNS, diakses Agustus 23, 2025, https://sejarah.fkip.uns.ac.id/2025/01/02/manunggaling-kawula-gusti-sufisme-syekh-siti-jenar/ […]