Oleh:
Nasta Ayundra Oktavian Mahardi
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2021)

Sumber: Pustaka Obor

Buku ini merupakan mahakarya yang ditulis oleh dua orang sejarawan Belanda yang sudah banyak menulis mengenai sejarah Indonesia, Harry A. Poeze dan Henk Schulte Nordholt. Harry A. Poeze merupakan mantan kepala penerbitan, peneliti tamu di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden dan salah satu peneliti terkenal yang mengkaji mengenai Revolusi Indonesia. Karyanya yang tersohor adalah tentang kisah hidup dari Tan Malaka. Sedangkan Henk Schulte Nordholt merupakan Emerius Guru Besar Sejarah Indonesia di Universiteit Leiden dan merupakan peneliti tamu di KITLV. Kajian yang digeluti oleh Henk berupa sejarah tentang Bali serta kolonialisme di Indonesia. Kedua sejarawan tersebut saling berkolaborasi dan menghasilkan sebuah karya yang luar biasa, utamanya untuk sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Buku ini berjudul “Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti (1945-1950)”.

Kata ‘Merdeka’ merupakan kredo penyemangat ketika masa-masa sulit dan menegangkan para tahun 1945-1950. Seruan ini sering digaungkan di mana-mana, di seluruh penjuru kota. Seruan ini bermakna sebagai ajakan secara terbuka, ringan, serta samar untuk maju dan mengingatkan kepada yang mendengarnya mengenai masa depan yang lebih baik, serta menyatukan orang-orang yang berada di tengah ketidakpastian. Kata ‘Merdeka’memiliki peran sentral sepanjang sejarah Indonesia pada periode 1945-1950. Oleh karena itu, kata tersebut menjadi judul buku ini. Sedangkan untuk foto sampul buku, mengambil latar waktu pada 28 Desember 1948. Dimana saat itu Presiden Sukarno tiba di Jakarta.

Buku ini menurut kedua penulis, memberikan sebuah ulasan baru mengenai Revolusi yang terjadi di Indonesia dalam periode tahun 1945 hingga 1950. Topik yang diangkat dan menjadi inti dari pembahasan buku ini adalah Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang tidak pasti. Dalam kasus Kebangkitan Republik, baik Sukarno dan Hatta sangat yakin jika kemerdekaan akan tercapai pada 17 Agustus 1945. Namun, mereka belum tahu kapan Republik Indonesia akan mendapatkan status sah di mata dunia. Pasca kemerdekaan, Republik Indonesia belum memiliki rencana masa depan yang detail dan rinci. Di luar itu masih banyak kelompok-kelompok yang memiliki kepentingannya masing-masing untuk berusaha menentukan arah revolusi. Hal ini juga dibarengi dengan banyak konflik dan perang saudara yang dibahas dalam beberapa bab dengan topik Perang Kemerdekaan. Revolusi disini memiliki ciri-ciri bahwa adanya keinginan untuk melalukan tindakan tanpa adanya rasa atau pemikiran mengenai dampak yang akan ditimbulkan.

Dalam kata pengantar yang “diantarkan” oleh Bambang Purwanto (Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada), buku ini ditulis oleh dua ilmuan Belanda yang dengan sepenuh hati mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun perlu tetap dilakukan kritik atas itu. Mereka juga menyalahkan bangsa mereka sendiri karena Belanda tidak siap untuk menghilangkan sisi gelap dari sejarah kolonialnya sendiri. Buku ini juga memberikan ruang yang lega untuk “kemenangan Indonesia” yang jika ditelusuri dalam histioriografi mengenai Indonesia, sangat jarang dituliskan oleh para sejarawan. Para penulis buku ini juga mencoba membongkar berbagai mitos yang dihasilkan dari jejak-jejak penelitian atau kajian yang ditulis oleh para peneliti terdahulu.

Buku ini juga tidak membawa para pembacanya untuk melupakan peristiwa yang terjadi sebelum kemerdekaan. Artinya, selain Belanda disini masa pendudukan Jepang juga mendapatkan porsinya. Terutama terkait kerja sama yang dilakukan antara tokoh Indonesia dengan Jepang. Walaupun tidak diberi perbandingan secara khusus mengenai kerja sama antara Jepang-Indonesia, namun terdapat penjelasan detail tentang hubungan antara gerakan nasionalis Indonesia dan penguasa Jepang yang ternyata sudah menjalin komunikasi bahkan sebelum Perang Dunia Kedua meletus. Kedua penulis membeberkan cerita tentang kerja sama Indonesia dengan Jepang secara berimbang sehingga para pembaca dapat memahami apa maksud dan tujuan kolaborasi tersebut dilakukan.

Buku ini memiliki ketebalan xxvi + 506 halaman dengan 2 kata pengantar, 13 bab pembahasan, epilog, dan lampiran-lampiran. 2 kata pengantar tersebut diisi oleh Prof. Drs. Bambang Purwanto, M.A., Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada dan Boonie Triyana, sejarawan dan Redaktur senior dari majalah sejarah online historia.id. Pembahasan dalam buku ini terfokus pada Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik. Salah satu bab pembahasan yang menarik bagi saya adalah “Revolusi Lokal: Bersiap dan Berdaulat” yang terjadi pada Oktober 1945 – pertengahan 1946. Berikut ulasan mengenai bab tersebut, saya tuliskan di bawah.

Komentar