Oleh:
Nasta Ayundra Oktavian Mahardi
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNS Angkatan 2021)

Definisi teknologi pada umumnya merupakan sarana dalam menyediakan segala kebutuhan manusia untuk menunjang kenyamanan dan keharmonisan dalam dunia kehidup manusia. Pada era serba canggih saat ini definisi teknologi mulai berubah karena kehadiran berbagai kemajuan teknologi seperti alat komunikasi, internet, dan hal-hal canggih lainnya. Namun jika ditelaah lebih dalam, teknologi merupakan perkembangan atau penerapan berbagai peralatan maupun sistem sebagai alat bantu manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari, sehingga teknologi biasanya berhubungan erat dengan tata cara (Maryono & Istiana, 2008: 3).

Tata cara yang sering terlewatkan dan jarang didiskusikan dalam kehidupan manusia namun memiliki banyak makna dan pengaruh adalah tata kota. Tata kota di suatu wilayah juga mendapat sentuhan dalam teknologi, namun bukan teknologi yang seperti kita bayangkan pada umumnya. Dalam tulisan ini, teknologi tata kota yang diangkat adalah teknologi tata kota yang ada di Jawa. Konsep tata kota di Jawa dibagi menjadi dua komponen, yakni fisik dan non-fisik. Komponen fisik yang dimaksud meliputi jalan, benteng, pasar, masjing, alun-alun, keraton, taman, pemukiman penduduk, pemakaman, krapyak, dang jagang (Rahayuningsih, 2023).

Dalam masyarakat Jawa konsep landasan tata ruang yang dianut adalah konsep Catur Gatra Tunggal. Konsep ini dirancang dengan memuat beberapa komponen seperti agama, sosial, politik, ekonomi, serta budaya dengan mengacu pada hubungan yang harmonis antara makrokosmos (jagad gede) serta mikrokosmos (jagad alit). Tumpuan tersebut tercantum dalam naskah-naskah kuno Vastu Shastra (Lombard, 2005: 108). Vastu Shastra merupakan seni arsitektur kuno dari India yang digunakan untuk membangun tempat tinggal yang baik bagi kepentingan manusia dan para dewa. Tinjauan konsep Vastu Shastra merujuk pada kosmologi Hindu. Kosmologi Hindu diibaratkan seperti permukaan bumi yang berbentu segi empak dengan setiap sudutnya mengacu kepada 4 arah mata angin, yakni utara, selatan, timur, dan barat yang diwujudkan dalam bentuk simbolis sebagai Prithvi Mandala.

Konsep Catur Gatra Tunggal secara etimologi serapan dari bahasa Jawa yakni “Catur” dan “Gatra”. Catur memiliki makna empat sedangkan Gatra berarti pilar. “Tunggal” sendiri artinya satu atau berdiri sendiri. Catur Gatra Tunggal dalam terminologi memiliki makna konsep tata ruang kerajaan Islam di pulau Jawa yang di dalamnya terdapat empat pilar kehidupan yakni politik, religi, ekonomi, serta sosial-budaya yang semuanya menjurus pada kesatuan yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Untuk mewujudkan konsep ini dalam bentuk bangunan, biasanya dibangun keraton (politik), masjid (religi), pasar (ekonomi), dan alun-alun (Adrisijanti, 2000: 179). Konsep ini merupakan penataan area berdasarkan empat arah mata angin dari barat, timur, utara serta selatan. Pilar-pilar dari Catur Gatra Tunggal berupa Keraton, alun-alun, Masjid Agung atau Gedhe, dan Pasar. Secara makrokosmos, titik bangunan Keraton memperhatikan orientasi dari empat arah mata angin dan pusat dari empat mata angin tersebut atau bisa disebut papat kiblat lima pancer.

Empat elemen diatas memiliki koneksi satu dengan lainnya serta menjadi satu kesatuan yang dipandang efektif dan efisien dalam kehidupan sosial. Adanya sebuah konsep kosmologi yang menata suatu wilayah, ruang, dan bangunan memiliki kebermanfaatan sebagai unsur dalam membentuk pola kehidupan bermasyarakat. Konsep tata kota seperti ini dalam kosmologi Jawa erat kaitannya dengan prinsip filsafat yang dianut oleh masyarakat Jawa sebagai sebuah kesatuan kolektif diantara keyakninan serta kebudayaan. Struktur yang dibangun disusun berdasarkan sistem klasifikasi dalam kosmologi. Kosmologi Jawa juga berusaha menata hubungan manusia kepada lingkungan bangunan, sehingga bangunan yang ada bukan hanya menjadi wadah saja, namun menjadi satu integrasi yang dicerminkan melalui aktivitas di dalamnya sehingga keduanya memiliki makna dan menunjukkan sistem kemasyarakatan yang sedang berlaku (Urfan et al, 2022: 331).

Catur Gatra Tunggal termasuk dalam lingkup makro, misalnya tatanan Keraton Surakarta Hadiningrat terhadap Kota Surakarta yang menganut prinsip tatanan kota Jawa dengan menggunakan konsep Catur Gatra Tunggal. Konsep ini juga dapat ditemukan pada era Mataram Islam yang terdahulu seperti Pajang, Kota Gede, Plered, dan Kartasura. Lalu untuk era sekarang masih bisa dijumpai di Yogyakarta, tepatnya Keraton Kasultanan Yogyakarta. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konsep ini memiliki empat elemen yakni keraton sebagai representasi unsur politik, masjid sebagai representasi unsur agama, alun-alun sebagai representasi unsur sosial, dan pasar untuk merepresentasikan unsur ekonomi. (Winata & Astrina, 2022: 322)

Gambar 1. Diagram strong center pada skala makro Sumber: Ilustrasi Denny Winata & Indri Astrina, Implementation of Centrality Concept on Keraton Surakarta Hadiningrat (Jurnal Risa) (2022)

Diagram diatas menggambarkan konsep Catur Gatra Tunggal yang diaplikasikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Lingkaran berwarna merah merupakan keraton sebagai center. Keraton menjadi entitas paling kuat perannya diantara entitas Catur Gatra Tunggal lainnya. Hal ini menunjukkan jika keraton merupakan penggerak terbentuknya entitas lain. (Winata & Astrina, 2022: 323). Lalu lingkaran berwarna hijau yang merupakan alun-alun. Terdapat dua alun-alun yakni alun-alun selatan dan alun-alun utara. Alun-alun memiliki kegunaan sebagai wadah untuk berkumpulnya masyarakat.

Selain di Surakarta, pola seperti ini juga dianut oleh Yogyakarta dalam hal ini Kasultanan Yogyakarta. Kebijakan dalam mewujudkan filosofi Catur Gatra Tunggal tertuang dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 2017 tentang Tata ruang tanah Kasultanan serta Kadipaten. Dalam pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kebijakan tata ruang di Yogyakarta mengikuti filosfi Catur Gatra Tunggal. Adapun elemen yang dimaksud dijelaskan pada pasal 2 meliputi keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai pusat kegiatan sosial budaya, masjid Gede untuk pusat kegiatan spiritual, dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Gambar. 2 Bentuk Catur Gatra Tunggal di Yogyakarta Sumber: (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/sumbu-filosofis-kota-yogyakarta/) (2017)

Dalam penerapan filosofi Catur Gatra Tunggal di Surakarta dan Yogyakarta sama-sama memiliki persamaan. Keraton menjadi pusat atau sentral dan terlihat lebih dominan dari unsur-unsur lainnya karena keraton mencerminkan konsep kosmogoni serta keseimbangan orientasi (Winata & Astrina, 2022: 323). Selanjutnya letak-letak dari unsur-unsur lainnya di kedua wilayah yang disebut vorstenlanden juga sama. Masjid Agung atau Gede letaknya berada di sebelah barat dari alun-alun utara. Lalu pasar di Surakarta diwakili oleh Pasar Gedhe dan Yogyakarta diwakili oleh Pasar Bringharjo letaknya sama-sama di sebelah timur alun-alun utara. Memang alun-alun utara memiliki fungsi sebagai tempat berkumpulnya rakyat dan penyampaian keluh kesahnya terhadap raja. Pada alun-alun utara dan selatan juga sama-sama ditanami dua pohon beringin kembar di bagian tengah alun-alun.

Penataan dengan konsep kosmologi Jawa dipilih sejak perencanaan pembangunan keraton baik Kasunanan maupun Kasultanan (Urfan et al, 2022: 341). Kedua kadipaten yakni Mangkunegaran dan Pakualaman juga sama-sama menggunakan konsep kosmologi Jawa, namun ada beberapa perbedaan seperti kedua kadipaten tidak dapat memiliki alun-alun karena posisi kadipaten adalah di bawah keraton. Perencanaan dengan kosmologi Jawa juga mengatur hubungan manusia dengan bangunan, sehingga struktur ruang dan bangunan tidak hanya menjadi sarana atau fasilitas namun juga menjadi satu keterikatan yang saling bersinergi dengan aktivitas yang ada di dalamnya sehingga menjadikan dua komponen tersebut memiliki makna serta mencerminkan sistem kemasyarakatan yang ada.

Pada era sekarang, banyak kota/kabupaten yang menggunakan konsep kosmologi Jawa ini, salah satunya adalah Kebumen. Kebumen baru saja merevitalisasi alun-alunnya dengan kosmologi Jawa, Catur Gatra Tunggal (Hafied, 2023). Revitalisasi ini dianggap sudah memenuhi berbagai elemen dalam satu ruang atau tunggal. Pembangunan di Kebumen menjadi contoh bagaimana konsep yang digunakan merupakan simbol kedekatan antara penguasa dalam hal ini pemerintah dengan rakyatnya.

Selain di Jawa, penerapan konsep kosmologi Jawa Catur Gatra Tunggal juga ada di tanah Sumatera. Tepatnya ada di tata kota Metro, Lampung. Walaupun secara teknis serta pemerintahannya dibentuk oleh pemerintahan kolonial belanda, jika dilihat dari sisi tata ruang pusat kota nampak jika ada kecenderungan kuat dalam menerapkan konsep kosmologi Jawa ini. Sejarah singkatnya, kota Metro dahulu dikelola oleh Eropeesch Binnelansc Bestuur atau Pangreh Praja Belanda dengan bantuan Inlandsch Binnenlandsch Bestuur yakni Pangreh Praja Pribumi yang diimpor dari Jawa. Sehingga dalam rentang waktu 3 tahun saja, setiap pembangunan suatu wilayah dibangun dengan konsep kosmologi Jawa (Swasono, 1985: 13).

Gambar. 3 Tata Kota Metro dengan konsep Catur Gatra Tunggal Sumber: Kian Amboro, Tata Ruang Kota Metro, Perpaduan Antara Kosmologi Jawa dan Kolonial Belanda (https://www.berandadesa.com/2022/04/tata-ruang-kota-metro-perpaduan-antara.html) (2022)

Penggambaran adanya sistem dengan konsep kosmologi Jawa ini merupakan salah satu mozaik kekokohan yang syarat akan banyak makna. Hubungan antar empat pilar yang sudah dijelaskan di atas tidak dapat terpisahkan namun jika dikupas satu per satu akan mendapatkan banyak makna dalam penerapan sistem perencanaan tata kota menggunakan Catur Gatra Tunggal. Pemaknaan empat pilar juga menghubungkan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Gambaran singkat tentang Catur Gatra Tunggal secara sederhana diibaratkan seperti perjalanan hidup manusia yang sedang mencari jati diri dan kesejahteraan bagi dirinya. Pasar sebagai pilar ekonomi menjadi langkah awal dalam menapaki kehidupannya yang akan memiliki ramai cobaan seperti ramainya pasar. Disana manusia akan mengalami berbagai ujian seperti kesenangan maupun kemungkaran sehingga akan menguji tingkat keimanan seseorang.

Selanjutnya pilar masjid yang mengarahkan manusia untuk menjadi sosok yang ingat kepada Tuhan yang maha kuasa. Manusia akan diarahkan untuk hubungan mikrokosmos dan makrokosmos yang tak dapat dipisahkan. Setelah itu manusia akan menempa dirinya kembali di hamparan tanah lapang yang luas berupa alun-alun. Manusia akan saling mempererat hubungan antar sesamanya sehingga menjalin suatu kehidupan sosial yang menjadi sifat alamiah dari manusia. Akhir perjalanan manusia akan berada di fase puncaknya dengan adanya keraton sebagai khasanah visual sebagai mustika atau pribadi manusia itu sendiri untuk mencapai ketenangan dan keserasian jiwa.

Konsep Catur Gatra Tunggal atau memiliki nama lain Catur Sagotrah adalah suatu konsep tata ruang yang unik dan banyak diaplikasikan di berbagai daerah. Konsep ini dapat disebut sebagai civic center yang artinya bagian dari kota secara spasial untuk menjadi pusat berbagai hiruk pikuk kegiatan masyarakat (Kostof, 1992: 80-81). Konsep ini sangat unik dan hanya ada di Indonesia. Sehingga Catur Gatra Tunggal dapat menjadi sebuah nilai kearifan lokal yang patut terus dilestarikan. Tidak hanya karena nilai historis, namun kebermanfaatan dan banyak berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.

Komentar