Oleh:
Salsabila, Salsabilla Tantina Sari, Sarila Fatimah Rusvianna, Syaffrina Fadhilatul Nikmah, Wida Dwi Novita & Wildan Ibnu
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2021)
A. Sejarah Kematian 7 Jendral

Gambar 1. Monumen Pancasila Sakti Sumber: Dokumen Tim Penulis, 29 Mei 2024
Pada dini hari tanggal 1 oktober 1965, Partai komunis Indonesia menculik dan membunuh perwira-perwira yang dianggap sebagai penghalang bagi tujuan mereka. PKI berhasil menculik beberapa perwira Angkatan Darat di Jakarta. Sebagian perwira dibunuh di kediaman mereka, sementara yang lain mengalami penyiksaan lebih dahulu sebelum dibunuh. Tindakan brutal ini menunjukkan betapa seriusnya upaya PKI untuk menghilangkan hambatan dalam mencapai tujuan mereka. Dengan menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat, PKI mencoba melemahkan pertahanan militer Indonesia dan memperkuat posisi mereka. Peristiwa ini menjadi salah satu titik gelap dalam sejarah Indonesia, mengingat betapa besar pengorbanan yang harus dibayar oleh para perwira tersebut dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas negara. Menjelang peristiwa G30S, beredar kabar tentang menurunnya kesehatan Presiden Soekarno. Rumor ini menyebutkan kemungkinan besar Presiden Soekarno akan mengalami kelumpuhan atau bahkan meninggal dunia. Mendengar kabar ini, D. N. Aidit segera memulai gerakan yang telah ia rencanakan bersama rekan-rekannya sejak lama. Rencana ini kemudian diserahkan kepada Kamaruzaman, yang diangkat menjadi ketua Biro Khusus Partai Komunis Indonesia. Biro khusus ini bertugas menghubungkan para kader PKI yang berada di tubuh ABRI, seperti Brigjen Supardjo, Letkol Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI Angkatan Laut, Marsekal Muda Omar Dani dari Angkatan Udara, dan Kolonel Anwar dari Kepolisian. Di antara mereka, Letkol Untung memberikan perintah kepada anggotanya untuk melaksanakan rencana tersebut pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 (Sucipto, 2013:112-114).
Dalam situasi yang tegang dan penuh ketidakpastian ini, para anggota Biro Khusus bekerja dengan hati-hati namun tegas, memastikan setiap langkah mereka tersembunyi dari mata-mata yang mungkin mengintai. Keberanian dan tekad mereka untuk menjalankan misi ini menjadi titik balik penting dalam sejarah Indonesia. Mereka berusaha memanfaatkan momentum dari kabar tentang kesehatan Presiden Soekarno untuk melaksanakan rencana besar yang telah disusun dengan penuh perhitungan.
1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani

Gambar 2. Jenderal Ahmad Yani Sumber: Wikipedia
Jenderal Ahmad Yani wafat pada usia 43 tahun. Beliau tewas dalam upayanya mempertahankan kemurnian dasar dan filosofi negara, yaitu Ideologi Pancasila, yang berusaha dirongrong oleh PKI. Jenderal Ahmad Yani dikenal sebagai sosok yang tegas dan berani. Dedikasinya terhadap negara tidak diragukan lagi, dan semangat juangnya selalu menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Pada hari-hari terakhirnya, ia berjuang dengan gigih melawan segala upaya yang mencoba merusak tatanan bangsa. Keberanian dan pengorbanannya akan selalu dikenang sebagai simbol perjuangan mempertahankan martabat dan kehormatan negara.
Kudeta PKI pada tahun 1965 bertujuan mengubah Republik Indonesia menjadi negara komunis yang tidak berketuhanan, sementara Indonesia sudah menganut Ideologi Pancasila yang dalam sila pertamanya menegaskan tentang “Ketuhanan yang Maha Esa”. Inilah yang menyebabkan Jenderal Ahmad Yani dan para perwira lainnya menentang PKI, sehingga terjadi ketegangan di antara mereka. Pertentangan ini awalnya masih dalam ranah lembaga, namun kemudian berubah menjadi tindakan kekerasan yang melanggar hukum. Ketika G30S/PKI mulai melakukan perlawanan bersenjata, pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok pasukan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) yang bersekongkol dengan G30S/PKI mendatangi rumah Jenderal Ahmad Yani dengan alasan bahwa beliau dipanggil oleh Presiden RI.
Saat sedang berganti pakaian, dua anggota pasukan Cakrabirawa menembakkan senjatanya berkali-kali ke arah Ahmad Yani. Jenderal tersebut pun jatuh dan tidak berdaya, menghembuskan napas terakhirnya.Jenderal tersebut terjatuh dan tidak berdaya, menghembuskan napas terakhirnya. Jenazah Ahmad Yani ditemukan di Lubang Buaya bersama enam perwira lainnya, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 5 Oktober 1965. Pada hari yang sama, Ahmad Yani dan rekan-rekannya secara resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal.
Kematian Ahmad Yani membawa duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Pada saat yang penuh kesedihan itu, upacara pemakaman dilakukan dengan penuh khidmat, dihadiri oleh banyak tokoh penting dan rakyat yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Pengangkatan Ahmad Yani sebagai Pahlawan Revolusi bukan hanya penghormatan bagi jasa-jasanya, tetapi juga simbol perlawanan terhadap segala bentuk ancaman terhadap bangsa. Keberanian dan pengorbanannya menjadi inspirasi yang tak ternilai bagi generasi penerus dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa.
Berdasarkan informasi dari museum, selama karir militernya, Ahmad Yani menerima 13 tanda jasa dari pemerintah. Penghargaan ini menunjukkan dedikasi dan pengorbanannya bagi bangsa dan negara, menegaskan peran pentingnya dalam mempertahankan Pancasila dan kedaulatan Indonesia.
2. Letjen Anumerta Suprapto

Gambar 3. Jenderal Suprapto Sumber: Wikipedia
Pada dini hari tanggal 1 Oktober, sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota pasukan pengawal kepresidenan (Cakrabirawa) mendatangi Suprapto, menyatakan bahwa ia dipanggil oleh Presiden Soekarno. Suprapto kemudian dibawa ke dalam truk dan diangkut ke Lubang Buaya, sebuah kawasan di pinggiran kota Jakarta, bersama enam orang lainnya.
Perjalanan menuju Lubang Buaya penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian. Suprapto, yang pada awalnya mengira ini adalah panggilan resmi, segera menyadari ada yang tidak beres. Bersama enam perwira lainnya, ia dihadapkan pada kenyataan yang mengerikan. Mereka dibawa ke sebuah tempat yang kelak akan dikenal sebagai salah satu situs paling kelam dalam sejarah Indonesia. Di tempat itu, mereka diperlakukan dengan kejam dan tanpa belas kasihan, menjadikan malam itu sebagai titik balik yang tragis dalam sejarah perjuangan bangsa. Suprapto dan rekan-rekannya, dengan segala keberanian yang mereka miliki, menghadapi nasib yang tak terduga dalam upaya mempertahankan integritas negara.
Pada malam hari itu, Jenderal Suprapto dan enam orang lainnya ditembak mati dan dilemparkan ke dalam sumur tua. Baru pada tanggal 5 Oktober, jenazah mereka berhasil dievakuasi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada hari yang sama, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, yang meresmikan Suprapto dan korban Lubang Buaya lainnya sebagai Pahlawan Revolusi, serta menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya (Dicha, 5).
Pengakuan ini mencerminkan betapa pentingnya peran Suprapto dalam sejarah Indonesia dan seberapa besar pengorbanan yang telah ia berikan untuk mempertahankan integritas dan kedaulatan negara. Pemberian gelar Pahlawan Revolusi bukan hanya penghormatan tertinggi bagi mereka yang telah gugur, tetapi juga sebagai pengingat abadi bagi generasi mendatang tentang nilai-nilai keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air. Malam tragis di Lubang Buaya menjadi simbol keteguhan hati para pahlawan dalam menghadapi ancaman yang ingin merusak dasar negara, dan kenangan atas mereka akan terus hidup dalam sanubari bangsa.
3. Letjen Anumerta Siswondo Parman

Gambar 4. Siswondo Parman Sumber: Wikipedia
Serma Satar memimpin pasukan yang dipercayakan untuk menangkap Mayjen TNI S. Parman dan meninggalkan Lubang Buaya pada pukul 03.00 pada tanggal 1 oktober 1965. Mereka menyerbu rumahnya di Jalan Syamsurizal 32 jakarta dengan melompati pagar tetangga S.Parman. Atas kebisingan yang dilakukan pasukan Serma Satar, Mayjen S.Parman terbangun karena gangguan tersebut dan mencurigai adanya perampokan di kediaman tetangganya. Ketika dia meninggalkan ruangan untuk memberikan bantuan dan membuka kunci pintu depan, para penculik sudah menunggu di luar dan menyampaikan informasi bahwa S.Parman dipanggil oleh presiden. Mayjen S.Parman akan menuruti perintah tersebut dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Dua penculik membuntutinya dari belakang. Ketika dia mendesak mereka untuk menunggu di ruang tamu, mereka mengabaikannya dan terus mengikutinya. Setelah berganti pakaian, Mayor Jenderal S. Parman dibawa keluar dan diantar ke Lubang Buaya, di mana ia mengalami nasib yang mengerikan. Pengorbanan Mayjen S. Parman merupakan bagian dari sejarah suram Indonesia, yang menunjukkan betapa kerasnya upaya makar terhadap negara pada saat itu (Sucipto, 2013:144).
Istri S. Parman mulai curiga dengan perilaku tidak sopan mereka. Ia menanyakan soal surat pemanggilan dari Istana Kepresidenan, dan salah satunya mengatakan surat itu ada di luar Pelda Yanto. Ibu S. Parman tidak dapat melihat surat tersebut karena tidak ada. Sebenarnya dia diancam dengan bayonet. Mayjen S. Parman bangkit dari tempat tidurnya dengan berpakaian lengkap dan meminta agar istrinya menghubungi Letjen A. Yani untuk melaporkan kejadian tersebut.
Namun kabel teleponnya putus. Pasukan penculik kemudian memasukkan Mayor Jenderal S. Parman ke dalam mobil dan membawanya ke Lubang Buaya. Episode tragis ini menambah daftar panjang pengkhianatan yang dialami kaum revolusioner, menunjukkan betapa sulitnya mereka mempertahankan keutuhan dan kedaulatan negara dalam menghadapi bahaya besar (Sucipto, 2013:146).
Peristiwa tersebut terjadi karena PKI mengusulkan agar para buruh dan petani diberi senjata, yang kemudian dikenal sebagai angkatan kelima. Usulan ini ditolak oleh S. Parman bersama dengan beberapa perwira Angkatan Darat lainnya. Penolakan tersebut menimbulkan ketegangan yang semakin memuncak antara PKI dan Angkatan Darat, yang akhirnya mengarah pada tindakan kekerasan dan penculikan. Penolakan terhadap ide angkatan kelima ini mencerminkan komitmen para perwira Angkatan Darat untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, serta menolak pengaruh ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila (Andrianto, 2016:6).
4. Mayjen Anumerta Donald Isaac Panjaitan

Gambar 5. Donald Isaac Panjaitan Sumber: Wikipedia
Serda Sukardjo memimpin pasukan yang dituduh melakukan penculikan Mayjen Anumerta Donald Isaac Panjaitan. Pada tanggal 1 oktober 1965, sekitar pukul 03.00. Penculik meninggalkan Lubang Buaya. Para penculik mendorong pintu rumahnya dengan paksa di Jalan Hasanudin 53, Jakarta dan menembak kedua keponakannya yang saat itu sedang tidur di lantai atas. Salah satu dari mereka tewas, dan para penculik menuntut Brigjen D.I Panjaitan menghadap presiden. Beliau tidak mau keluar pada awalnya, tapi para penculik mengancam akan menghancurkan seluruh rumah jika dia tidak keluar, jadi dia berjalan keluar dan menuruni tangga dengan seragam lengkap (Sucipto,2013:150).
Ketika beliau tiba di halaman rumah, beliau sangat marah dengan sikap anggota penculik. Beliau dipukul dengan popor senjata hingga pingsan. Saat itu, dua penculik lagi menembaknya dengan senapan otomatis. D.I Panjaitan meninggal dunia saat itu, dan jenazahnya dimasukkan ke dalam mobil yang telah disediakan. Sementara itu, petugas polisi berpangkat agen polisi atau Bharada Sukitman yang sedang bertugas dan mendengar suara tembakan pun merespons di lokasi. Sesampainya di lokasi, para penculik langsung menangkapnya dan membawanya ke lubang buaya (Sucipto, 2013:151).
5. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Gambar 6. Sutoyo Siswomiharjo Sumber: Okezone.com
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo diculik pada tanggal 1 Oktober 1965 pada pukul 03.00 dini hari di rumah beliau yang bertempat di Jl. Sumenep No. 17, Menteng, Jakarta Pusat. Penculikan terhadap Brigjen Sutoyo ini dipimpin oleh Serma Surono. Para penculik memasuki kediaman Brigjen Sutoyo melalui bagian belakang rumah dan melalui garasi yang terletak di sebelah kanan. Kemudian para penculik itu menodongkan sangkur kepada pembantu di rumah Brigjen Sutowo agar diberikan kunci akses menuju kamar tengah. Setelah berhasil memasuki rumah para penculik menerobos masuk dan membawa Brigjen Sutoyo dengan dalih bahwa beliau dipanggil oleh Presiden Soekarno. Dengan paksa Brigjen Sutoyo dibawa menuju Lubang Buaya dan dibunuh di sana bersama 6 korban lainnya (Sucipto, 2013:151). Setelah kepergiannya, Brigjen Sutoyo diberi kenaikan Pangkat menjadi Mayor Jenderal Anumerta Sutoyo Siswomiharjo.
6. Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono

Gambar 7. M.T. Haryono Sumber: Wikipedia
Di waktu yang sama, penculikan terhadap Mayjen M.T Haryono juga dilakukan. Penculikan Mayjen M.T Haryono ini dipimpin oleh Serma Bungkus yang berangkat dari Lubang Buaya dan tiba di rumah Mayjen M.T Haryono di Jl. Prambanan No. 8, Jakarta. Kedatangan Serma Bungkus dan pasukannya diterima oleh istri Mayjen M.T Haryono, yaitu Ny. Haryono. Serma Bungkus menyampaikan pada Ny. Haryono bahwa Mayjen Haryono dipanggil oleh Presiden. Tanpa rasa curiga, Ny. Haryono membangunkan Mayjen Haryono yang saat itu masih tertidur. Namun Mayjen Haryono tidak langsung mau menemui Serma Bungkus dan mengatakan pada istrinya agar mereka kembali lagi pada pukul 08.00 pagi. Akan tetapi, Serma Bungkus tetap memaksa agar Mayjen Haryono tetep keluar dan berangkat pada saat itu juga. Merasa ada hal yang tidak wajar maka Mayjen Haryono meminta istri dan anak-anaknya untuk pindah ke kamar sebelah. Sedangkan di luar, Serma Bungkus dan anggotanya berteriak-teriak agar Mayjen Haryono mau keluar (Sucipto, 2013:146-147).
Oleh karena Mayjen Haryono tidak menggubris permintaan Serma Bungkus, para penculik tersebut menembak ke arah pintu yang masih terkunci. Begitu pintu terbuka, para penculik bergegas masuk dan menangkap Mayjen Haryono. Mayjen Haryono tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan dengan mencoba merebut senjata salah satu dari penculiknya. Akan tetapi usahanya tidak membuahkan hasil. Beberapa kali beliau mendapatkan tusukkan dari sangkur dan dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi berdarah-darah (Sucipto, 2013:148).
7. Kapten Pierre Tendean

Gambar 8. Pierre Tendean Sumber: Wikipedia
Kapten Pierre Tendean adalah ajudan dari Jenderal Nasution, beliau sendiri menjadi korban setelah menggantikan A.H Nasution. Pada saat itu, dini hari pukul 03.45 Jendral Nasution terbangun karena nyamuk, namun ketika ia terbangun ia juga mendengar ada banyak kendaraan dan kemudian pintu masuk ke arah kamar kerja dan kamar tidur dibuka secara paksa. Ny. Nasution lantas memeriksa keadaan, melihat kegaduhan tersebut Ny. Nasution segera menutup dan mengunci pintu dan meminta kepada Jenderal Nasution agar tidak keluar sekaligus memberitahukan bahwa ada anggota Cakrabirawa. Mardiah, adik Jendral Nasution segera menggendong Ade Irma dan ikut melarikan diri ke samping rumah bersama dengan Jenderal Nasution. Namun ketika menutup kembali pintu Mardiah tidak menyadari bahwa Ade Irma telah terkena tembakan. Jendral Nasution bersama istri, adiknya, dan anaknya telah berlumuran darah memanjat pagar ke arah gedung Kedutaan Besar Irak yang berada tepat disampingnya. Awalnya Jendral Nasution hendak kembali turun, namun dilarang oleh Ny. Nasution (Putri, Wahyuni, Purnomo, 2022: 29-30).
Di lain sisi, Kapten Pierre Tendean yang saat itu masih berada di kamar mencoba keluar dan melawan, namun dihalangi oleh penjaga rumah, Hamdan karena situasi cukup berbahaya. Namun Pierre Tendean sudah melesat keluar kamar dan langsung berhadapan dengan Pasukan cakrabirawa yang berkumpul di depan paviliun kamarnya. Ia diberondong pertanyaan mengenai kemana perginya Jendral Nasution. Lantas ia dibawa dengan keadaan terikat dan mata tertutup.
Selama perjalanan Pierre Tendean disiksa dengan cara dipukul menggunakan popor senapan dan tendangan sepatu lars dari sepatu para penculik. Begitu sampai di Lubang Buaya disana sudah ada 6 orang lainnya yang berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda darinya. Bahkan 3 diantara mereka telah kehilangan nyawa mereka. mereka adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T Haryono, dan Brigjen D.I Panjaitan. Sedangkan Mayjen R. Suprapto, Mayjen Siswondo Parman, dan Brigjen Sutoyo masih hidup namun dalam kondisi yang tak kalah mengenaskan. Lantas mereka dilempar masuk kedalam sumur dan ditembak dengan senjata api (Besman, Dkk. 2019).
B. Sejarah Sumur Lubang Buaya (Narasi Pembuangan Jenderal Sampai Didirikannya Museum)
Ketika berbicara tentang Lubang Buaya pasti yang terlintas dalam benak kita adalah tempat yang kelam, karena sejarah merekam terjadinya peristiwa mengerikan yang terjadi yaitu peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang pada saat itu tempat ini dijadikan sebagai pembuangan mayat dari enam orang jenderal dan satu pegawai tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam satu tempat berukuran kecil, peristiwa ini disebut juga sebagai tragedi Sumur Lubang Buaya (Ghani & Tajuddin, 2017).
Lubang Buaya sendiri merupakan nama jalan yang berada di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lubang Buaya terletak di dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Sejarah mencatat bahwa Lubang Buaya adalah bagian dari kawasan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, meskipun sebenarnya wilayah ini tidak berada di bawah kendali pangkalan tersebut (Sulistyo, 2000:1).
Pada awalnya Lubang Buaya belum seramai sekarang, dahulu tempat ini hanya berupa hutan dan hanya beberapa warga yang bermukim di dekatnya. Lubang Buaya semakin dikenal karena menjadi lokasi terjadinya dua peristiwa penting, yaitu Latihan Sukarelawan Dwikora dan Operasi Ganyang Malaysia, serta berkaitan juga dengan peristiwa G30S yaitu menjadi tempat pembantaian mayat perwira Angkatan Darat secara tragis (Taum, 2008). Sebenarnya penamaan Lubang Buaya sudah dikenal sejak dahulu sebelum terjadinya peristiwa G30S. Dinamakan Lubang Buaya karena pada zaman dahulu di kawasan ini terdapat banyak buaya.
Sumur Lubang Buaya tidak lepas dari peristiwa G30S yang kelam. Banyak versi yang menyebutkan tentang pembuangan jenderal Angkatan Darat tersebut. Menurut versi resmi pemerintah, Gerakan 30 September dilaksanakan pada dini hari tanggal 1 Oktober. Para Jenderal dibunuh dan diculik menuju ke Lubang Buaya untuk disiksa secara keji. Laporan mengenai kekejaman PKI disampaikan melalui dua koran milik militer, yaitu ‘Angkatan Bersenjata’ dan ‘Berita Yudha’ (Aminuddin, 2008). Didalamnya menyebutkan bahwa sebelum dibunuh, para perwira Angkatan Darat tersebut disiksa dan disayat-sayat kemaluannya, serta matanya dicungkil oleh Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia dengan menari dan menyanyikan lagu-lagu rakyat beraliran komunis yaitu Ganyang Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota, yang merupakan ciptaan dari seorang komunis yaitu Soebroto K. Atmodjo.
Memori tentang Gerakan 30 September 1965 selalu melekat dalam setiap orang, bukan hanya karena kesadisannya, tetapi juga karena peristiwa ini selalu mendapatkan tempat yang khusus, dan selalu diingat melalui tulisan-tulisan, film, museum, hari peringatan, dan lain sebagainya. Peristiwa G30S adalah puncak dari pergolakan politik di Indonesia selama tahun 1950-an dan awal 1960-an. Peristiwa ini secara tidak langsung menunjukkan persaingan antara PKI dan tentara dalam upaya menguasai politik Indonesia, di tengah kondisi Soekarno yang semakin melemah (Sutter, 1966).
Banyak dugaan yang meliputi peristiwa Gerakan 30 September yang masih menjadi misteri. Para sejarawan memiliki pendapat yang berbeda-beda terutama tentang pertanyaan siapakah dalang dibalik peristiwa tersebut. Menurut Roosa (2006:62), terdapat setidaknya empat dugaan utama yang masih diperdebatkan hingga kini. Pertama, Angkatan Darat berpendapat bahwa gerakan tersebut dirancang oleh PKI dengan tujuan merebut kekuasaan negara. Kedua, peneliti Cornell, Benedict Anderson dan Ruth McVey, berpendapat bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh konflik internal di tubuh TNI AD. Ketiga, ada dugaan bahwa gerakan itu direncanakan oleh TNI AD tetapi didukung oleh PKI. Keempat, gerakan tersebut didalangi oleh Soeharto dengan menyediakan dalih penumpasan PKI dan pelengseran Soekarno sebagai Presiden Indonesia.
Tragedi Lubang Buaya dengan disertai narasi-narasi tambahan membuat Soeharto sebagai orang pertama yang mengetahui adanya peristiwa tersebut langsung dengan cepat menumpas PKI yang dinilai sebagai dalang dibalik terbunuhnya para jenderal. Penumpasan PKI dilakukan secara massif, karena PKI dianggap sebagai partai terlarang oleh pemerintah Orde Baru. Pembunuhan massal terhadap PKI, individu yang dilabeli sebagai komunis, atau mereka yang memiliki hubungan dengan komunis terjadi pada akhir 1965-1966. Penumpasan ini dipimpin oleh TNI dan terutama berlangsung di Sumatera Utara, Jawa, dan Bali (Rossa, 2006). Seiring berkembangnya waktu, dibangunlah Kompleks Monumen Pancasila Sakti atas ide yang dikemukakan oleh Soeharto. Kompleks monumen dan museum ini terdiri dari beberapa bangunan yang tidak dibangun secara bersamaan. Bangunan utamanya adalah Monumen Pancasila Sakti yang dibuka pada tahun 1969, Paseban atau Museum Pancasila Sakti yang diresmikan pada tahun 1982, dan Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang diresmikan pada tahun 1992. Tujuan dibangunnya Kompleks Monumen Pancasila Sakti adalah sebagai pengingat perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan revolusi yang berjuang mempertahankan ideologi Negara Republik Indonesia.

Gambar 9. Sumur Maut Lubang Buaya Sumber: Dokumen Tim Penulis, 29 Mei 2024
C. Lubang Buaya Sekarang

Gambar 10. Museum Pengkhianatan PKI Sumber: Dokumen Tim Penulis, 29 Mei 2024
Berdasarkan penamaan Lubang Buaya yang diidentikkan sebagai sumur tempat pembuangan mayat para pahlawan revolusi, hingga saat ini masyarakat mengenal Lubang Buaya sebagai suatu tempat kelam yang masih menyisakan duka yang mendalam dalam kenangan. Padahal jauh sebelum terjadinya peristiwa G30S PKI, nama Lubang Buaya sudah lebih dulu dikenal dan ada karena sebuah cerita turun temurun dari masyarakat atas penamaan Jalan Lubang Buaya. Lubang Buaya dulunya merupakan suatu wilayah di mana terdapat banyak buaya putih yang berdiam diri di sungai dekat tempat tersebut. Oleh karena itu wilayah tersebut dinamakan sebagai Lubang Buaya (Afiifadiyah, 2021: 7). Namun, setelah terjadinya peristiwa G30S PKI banyak masyarakat yang beranggapan bahwa nama Lubang Buaya diambil dari pembuangan mayat dari 7 jenderal yang saat ini menjadi Pahlawan Revolusi Indonesia.
Peristiwa G30S PKI telah membawa begitu banyak perubahan, salah satunya oleh karena adanya peristiwa ini, Presiden kedua RI yaitu Soeharto memprakarsai dibangunnya museum untuk mengenang jasa pahlawan revolusi yang telah berusaha untuk mempertahankan ideologi bangsa Indonesia dari keganasan PKI yang ingin mendirikan sebuah negara Komunis. Museum tersebut kemudian dikenal sebagai Monumen Pancasila Sakti dimana hingga detik ini masih berdiri kokoh dan terletak persis di samping jalan Lubang Buaya, Jakarta Timur (Afiifadiyah, 2021: 8).
Kompleks Monumen Pancasila Sakti berlokasi di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Dimana lokasinya dekat dari Markas Tentara Angkatan Udara Republik Indonesia di Landasan Udara Halim Perdana Kusuma. Kompleks Museum dan Monumen ini tidak dibangun secara bersamaan, yang mana bangunan utamanya, yaitu Monumen Pancasila Sakti yang pada tahun 1969 resmi dibuka, Paseban atau Museum Pancasila Sakti yang pada tahun 1982 diresmikan, serta Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang pada tahun 1992 diresmikan. Kompleks Lubang Buaya terbagi menjadi empat wilayah utama, yaitu Ring Satu, Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Paseban, dan Ruang Relik (Damm, 2017: 109).
Monumen Pancasila Sakti terletak di Ring Satu yang berdiri berupa bangunan monumen berbentuk burung Garuda raksasa yang menaungi tujuh patung Pahlawan Revolusi yang terbunuh pada malam 1 Oktober 1965, yang mana di dasar patung tersebut tergambar relief yang menceritakan setiap episode dari PKI dan penumpasannya berdasarkan narasi Orde Baru, seperti sejak peristiwa Madiun 1948, pencetusan ideologi NASAKOM ala Soekarno, peristiwa 1 Oktober 1965, penumpasan PKI oleh Soeharto, dicetuskannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), diadakannya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili pelaku G30S/PKI, serta pidato Jenderal Soeharto yang menerimah amanah sebagai presiden ke 2 Republik Indonesia setelah Soekarno. Di sekitar monumen juga terdapat sebuah cungkup yang menaungi sumur maut tempat pembuangan ketujuh jenderal Pahlawan Revolusi, tiga rumah sebagai dapur umum, tempat untuk menahan para jenderal, dan tempat penyiksaan para jenderal, serta pos komando G30S (Damm, 2017: 110).
Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) merupakan bangunan utama yang berdiri terakhir dari bangunan lainnya. Museum ini berbentuk bangunan besar dua lantai dengan koleksi utama, yaitu 34 diorama sepak terjang PKI dan penumpasannya, mozaik-mozaik foto dan dokumentasi terkait peristiwa politik 1965, serta berbagai senjata baik asli maupun replika yang digunakan oleh para anggota PKI. Sedangkan Museum Pancasila Sakti atau Paseban merupakan museum yang menampilkan 16 diorama yang mereka ulang adegan-adegan pada malam 30 September-1 Oktober 1965, beberapa momen sebelumnya terkait rapat persiapan G30S dan pelatihan sukarelawan G30S, serta momen setelahnya terkait dengan pengamanan Lanud Halim Perdanakusuma dan prosesi pemakaman pahlawan Revolusi (Damm, 2017: 110). Disamping itu, kompleks Museum dan Monumen Pancasila Sakti terdapat ruang relik yang dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda peninggalan para perwira TNI AD yang gugur pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto. (2016). Kontroversial Keterlibatan Soeharto dalam Penumpasan G30s/PKI 1965. Palembang : Universitas PGRI
Palembang.
Afiifadiyah, A. (2021). Menelisik Sejarah Penamaan Jalan Lubang Buaya dan Kaitannya Dengan Peristiwa G30S. Local History &
Heritage, 1(1), 6-9.
Anas, N. R., & Djuanda, I. (2020). PENINGKATAN SISTEM PELAYANAN PARIWISATA DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM
INFORMASI TOUR ONLINE BERBASIS APLIKASI MOBILE (STUDI KASUS: MUSEUM PANCASILA SAKTI LUBANG BUAYA). In Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Bidang Ilmu Komputer dan Aplikasinya, 1 (1), 526-531.
Besman, Abie. Dkk (2019). Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi Biografi Pierre Tendean. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.
Damm, M. (2017). Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965. Antropologi
Indonesia, 38(2), 105.
Dicha, Fransiscus. Suprapto. Academia.edu
Ghani, R., & Tajuddin, M. S. (2017). G30S/PKI 1965 DAN TRAGEDI LUBANG BUAYA: SEBUAH TRILOGI [THE G30S/PKI 1965
AND LUBANG BUAYA TRAGEDY: A TRILOGY]. Journal of Nusantara Studies (JONUS), 2(2), 295-305.
Lauryn, M. S., & Lesmana, F. (2022). Aplikasi Virtual Reality Tour Sebagai Media Pengenalan Tempat Wisata Lubang Buaya Jakarta
Timur. ProTekInfo (Pengembangan Riset dan Observasi Teknik Informatika), 9(1), 8-12.
Munsi, H. (2016). Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi Negara dan Normalisasi Anti-Komunis. ETNOSIA:
Jurnal Etnografi Indonesia, 1 (1), 30–43.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra.
Putri, R.A; Wahyuni, Anny; Purnomo, Budi. (2022). Perjuangan Karakter inta Tanah Air Dari Seorang Pahlawan Revolusi Pierre
Tendean. Krinok: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi. 1(1), 29-30.
Sucipto, Dwi Herman. (2013). Kontroversi G30S. Yogyakarta: Palapa.
Sudharmono. (1985). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Gita Karya.
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966).
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation.
Sutter, J.O. (1966). Two faces of confrontasi: “crush Malaysia” and the Gestapu. Asian Survey, 6(10), 523-546.
Taum, Y. Y. (2008). LUBANG BUAYA: MITOS DAN KONTRA-MITOS. Sintesis, 6(1), 14-39.
DAFTAR GAMBAR:
Gambar 1 : Dokumentasi Penulis, 29 Mei 2024
Gambar 2 : https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Yani
Gambar 3 : https://id.wikipedia.org/wiki/R._Soeprapto_%28pahlawan_revolusi%29
Gambar 4 : https://id.wikipedia.org/wiki/Siswondo_Parman
Gambar 5 : https://id.wikipedia.org/wiki/D.I._Pandjaitan
Gambar 6 : https://nasional.okezone.com/read/2023/10/02/337/2893046/kisah-tragis-mayjen-sutoyo-gugur-di-tangan-
Gambar 7 : https://id.wikipedia.org/wiki/Mas_Tirtodarmo_Haryono
Gambar 8 : https://id.wikipedia.org/wiki/Pierre_Tendean
Gambar 9 : Dokumentasi Penulis, 29 Mei 2024
Gambar 10 : Dokumentasi Penulis, 29 Mei 2024
[…] dokumentasi yang komprehensif, kita dapat melestarikan kenangan akan kejadian tragis dan memberikan penghormatan kepada para […]