Oleh : Dila Puspitasari (Siswi SMA Negeri 1 Banyudono, Jawa Tengah)
*Artikel ini merupakan karya tulis yang sudah pernah diikutkan Lomba Penulisan Essay yang diselenggarakan oleh HMP Ganesha Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta pada Juni 2024 dan berhasil meraih Juara 2.
Pendahuluan
Banyudono menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Boyolali yang terkenal dengan desa wisata yaitu Pengging. Pengging memiliki berbagai jenis wisata seperti wisata air, religi dan budaya. Wisata air yang terdapat di Pengging seperti Umbul Sungsang, Umbul Ngabean, Umbul Sewu, Umbul Peceren dan lain-lain. Banyak wisatawan baik dari dalam maupun luar daerah yang berdatangan untuk menikmati pemandian umbul di Pengging (Maharani, 2024). Terkenal dengan banyaknya wisata air yang menarik, Pengging juga memiliki wisata religi dan budaya yang kaya akan filosofi salah satunya yaitu Masjid Cipto Mulyo. Masjid Cipto Mulyo terletak di Ngaliyan RT 09 / RW 02, Dukuh Ireng, Bendan, Kecamatan Banyudono. Masjid ini merupakan masjid yang dibangun oleh Kanjeng Sunan Pakubuwono X pada hari Selasa Pon, 14 Jumadil Akhir 1838 Hijriah (Achmadi, 2024).
Masjid dan umat Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dimana terdapat umat Islam disana juga terdapat masjid sebagai tempat beribadah (Mirdad, 2019). Dibangun pada zaman kerajaan yang masih kental akan sejarah dan tradisi Masjid Cipto Mulyo pada awalnya digunakan bukan hanya sebagai tempat beribadah saja, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat sekitar. Masjid Cipto Mulyo menjadi wisata religi dan budaya yang terkenal tidak hanya karena keindahan arsitekturnya saja, adanya kisah historis dan banyaknya filosofi penuh makna yang terdapat di setiap sudutnya menjadikan Masjid Cipto Mulyo memiliki daya tarik tersendiri. Filosofi tersebut dapat dilihat dari arsitektur Masjid Cipto Mulyo yang unik dan khas seperti bentuk masjid, model pintu dan jendela, susunan atap, ornamen masjid dan lain-lain. Filosofi ini mengandung makna yang relevan dengan kehidupan zaman sekarang, terutama untuk para kawula muda atau yang sering disebut generasi Z.
Generasi Z adalah individu yang lahir pada tahun 1990 hingga tahun 2010, dimana teknologi digital berkembang pesat di berbagai negara di dunia. Generasi Z memiliki akses yang besar di berbagai bidang khususnya sosial budaya, baik melalui internet ataupun interaksi langsung dengan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan generasi Z untuk merefleksikan nilai-nilai dari berbagai budaya yang kemudian akan membentuk identitas yang inklusif dan terbuka dengan keberagaman (Hermino, 2015). Generasi Z harus bisa mempertahankan budaya lokal namun tetap beradaptasi dengan tren global yang terus berubah. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas refleksi filosofi Masjid Cipto Mulyo sebagai ruang spritual dan budaya bagi generasi Z.
Pembahasan
1. Filosofi pada arsitektur Masjid Cipto Mulyo
Masjid Cipto Mulyo dibangun oleh Kanjeng Sunan Pakubuwana X pada Selasa Pon, 14 Jumadil Akhir 1838 Hijriah. Masjid ini dibangun dengan tujuan agar ketika Kanjeng Sunan Pakubuwana X beserta para abdi keraton berkunjung ke Pengging, mereka dapat menunaikan ibadah di masjid yang dekat dengan tempat peristirahatan atau yang biasa disebut dengan Pesanggrahan Ngeksi Purna (Achmadi, 2024). Masjid Cipto Mulyo dengan arsitektur yang estetik ternyata memiliki banyak filosofi penuh makna yang relevan dengan kehidupan generasi Z. Dimulai dari model atap yang bersusun tiga, bentuk serambi masjid, arah kiblat yang serong ke kiri, aksara Jawa dan tulisan PB X pada setiap ornamen, kentongan, bedug, model pintu dan jendela serta bentuk mimbar dan mihrab.
Atap, Masjid Cipto Mulyo memiliki atap yang bersusun tiga atau yang biasa disebut tajuk lambang teplok. Tajuk lambang teplok adalah model atap tradisional Jawa berbentuk limasan tumpang tiga seperti bangunan meru pada candi Hindu. Dalam pandangan Jawa, tajuk lambang teplok bermakna penerangan yang digantung atau menempel di dinding (Siswayanti, 2018). Dalam pandangan Jawa-Islam bentuk atap Masjid Cipto Mulyo bersusun tiga ini menggambarkan kondisi spiritual umat muslim yaitu iman, Islam dan ihsan. Bagian atap paling bawah atau dasar yaitu iman, atap tengah yaitu Islam dan atap yang paling atas adalah ihsan (Supatmo, 2018). Iman sebagai pondasi dasar yang memiliki arti keyakinan dalam hati yang kemudian diungkapkan dengan lisan dan diikuti dengan amal perbuatan yang baik. Iman meliputi keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat dan takdir Allah. Susunan kedua yaitu Islam yang mengajarkan untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengamalkan lima rukun Islam sebagai tiang-tiang pokok agama yaitu syahadat, salat, puasa di bulan ramadhan, zakat dan melaksanakan haji bagi yang mampu. Ihsan merupakan tingkatan paling tinggi dari sebuah keimanan, ketika seorang hamba sadar dan ikhlas dalam melakukan perbuatan baik. Ihsan tidak hanya sebatas mengucap syahadat dan rajin beribadah, tetapi mencakup ketulusan dan kesadaran hati merasakan hadirnya Allah dalam setiap aspek kehidupan.
![]() Gambar 1. Atap masjid bersusun tiga Sumber: Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 2. Serambi Masjid Cipto Mulyo Sumber: Dokumentasi pribadi |
---|
Bentuk serambi, Masjid Cipto Mulyo memiliki bentuk serambi persegi panjang dengan seluruh sisi yang terbuka tanpa sekat dinding menyerupai pendopo memiliki makna kesederhanaan dan keterbukaan Masjid Cipto Mulyo dalam menerima tamu dari berbagai daerah dan kalangan. Letak serambi dan ruang utama masjid yang dibuat lebih tinggi daripada letak batas suci melambangkan bahwa semakin tinggi bangunan semakin sakral juga tempat tersebut. Kesakralan ini menggambarkan adanya hubungan antara umat muslim dengan Allah. Bentuk masjid yang bergaya limasan memiliki makna terkait dengan status sosial masyarakat bahwa pendiri masjid tersebut merupakan golongan menengah ke atas (Muhadiyatiningsih, Bakri, Fatonah, & Imanti, 2022). Memiliki 8 tiang yang menopang masjid agar berdiri kokoh dengan 4 tiang pada serambi dan 4 tiang pada ruang utama memiliki makna bahwa manusia mempunyai empat hawa nafsu di dalam kehidupan yang meliputi api, air, udara dan bumi. Api merupakan simbol dari amarah yang berarti emosi yang meluap-luap. Air simbol dari nafsu mutmainah yang berarti keseimbangan dan kesucian dengan karakter jujur dan berbudi luhur. Udara simbol dari nafsu supiyah yang menekankan pada hasrat atau ego. Layaknya angin yang tidak bisa ditentukan arah datang dan tujuannya, ego manusia juga terkadang dapat lepas kendali dan tak tentu arah. Bumi adalah simbol dari nafsu lawwamah dengan karakter serakah dan ingin memiliki segalanya (Afrita, 2019).
![]() Gambar 3. Prasasti penunjuk arah Sumber : Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 4. Molo Sumber : Dokumentasi pribadi |
---|
Arah kiblat, Masjid Cipto Mulyo memiliki arah kiblat dengan keunikan tersendiri. Bangunan masjid yang menghadap ke arah tenggara bukan timur, menyebabkan arah kiblat yang serong ke kiri. Pada serambi terdapat prasasti penunjuk arah mata angin agar tidak membingungkan masyarakat yang salat di Masjid Cipto Mulyo. Prasasti tersebut merupakan pemberian dari departemen agama (Depag) Provinsi Jawa Tengah (Achmadi, 2024). Pada bagian atas atap Masjid Cipto Mulyo juga terdapat molo. Molo adalah penunjuk kiblat berupa besi yang menyerupai anak panah dengan ukiran yang khas. Kiblat seluruh muslim di dunia adalah ka’bah yang terletak di Masjidil Haram, Mekkah. Nilai filosofis dari kiblat sendiri adalah tidak hanya sekadar arah untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam melaksanakan salat, tetapi yang harus dipahami bahwa titik arah kiblat tersebut bukanlah objek yang disembah oleh umat muslim ketika melaksanakan salat. Objek yang disembah tetaplah Allah Yang Maha Esa.
Aksara Jawa dan tulisan PB X, yang terdapat pada setiap ornamen di Masjid Cipto Mulyo seperti ukiran pintu, kentongan dan bedug. Hal ini menandakan bahwa ornamen tersebut didapatkan dari Kanjeng Sunan Pakubuwana X (Achmadi, 2024). Pada pintu masuk terdapat aksara Jawa yang berbunyi “Adegipun Masjid Cipto Mulyo” pada baris pertama, “14 Jumadil Akhir Je” pada baris kedua dan “1838” pada baris ketiga.
![]() Gambar 5. Tulisan PB X Sumber : Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 6. Aksara Jawa pada pintu masuk Sumber : Dokumentasi pribadi |
---|
Kentongan dan bedug, kentongan terletak di sudut kanan serambi masjid bersisian dengan bedug. Kentongan dan bedug dibunyikan menjelang dan setelah adzan setiap lima waktu salat. Bunyi kentongan berupa “tong tong tong” dikiaskan dalam bahasa Jawa “kotong” yang memiliki makna bahwa masjid masih kosong sehingga masyarakat dapat segera ke masjid untuk menunaikan ibadah salat. Sedangkan bedug yang berbunyi “dheng dheng dheng” dikiaskan dalam Bahasa Jawa yaitu “sedheng” yang memiliki makna bahwa masjid masih cukup untuk para jamaah yang ingin salat (Achmadi, 2024).
![]() Gambar 7. Bedug Sumber: Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 8. Kentongan Sumber: Dokumentasi pribadi |
---|
Pintu dan jendela, Masjid Cipto Mulyo memiliki model yang sama yaitu kupu tarung. Menurut Dewi yang dikutip oleh Febriyanto model kupu tarung bermakna jiwa dan raga manusia yang telah menyatu untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Sebagaimana manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk mendukung kelangsungan hidupnya, oleh karena itu manusia harus bisa beradaptasi dan bersosialisasi.
![]() Gambar 9. Pintu kupu tarung Sumber : Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 10. Jendela kupu tarung Sumber : Dokumentasi pribadi |
---|
Mimbar dan mihrab, Mihrab adalah sebuah ruangan kecil di dalam masjid yang menunjukan arah kiblat sekaligus tempat imam memimpin salat. Bentuk mihrab berupa setengah lingkaran dengan tulisan arab yang mengelilingi bagian atas menggambarkan ketidaksempurnaan manusia di hadapan Tuhan (Muhadiyatiningsih, Bakri, Fatonah, & Imanti, 2022). Mimbar adalah sebuah tempat yang terletak di samping mihrab dan fungsinya sebagai tempat khatib menyampaikan ceramah. Bentuk mimbar pada Masjid Cipto Mulyo yang menyerupai tandu dan berundak tiga.
![]() Gambar 11. Mihrab Sumber: Dokumentasi pribadi |
![]() Gambar 12. Mimbar Sumber: Dokumentasi pribadi |
---|
2. Masjid Cipto Mulyo sebagai ruang spiritual dan budaya bagi generasi Z
Sebagai ruang spiritual, fungsi masjid tidak terbatas hanya sebagai tempat beribadah umat muslim, namun juga untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan generasi Z melalui berbagai kegiatan keagaaman seperti salat berjamaah, tadarus dan wiridan bersama. Selain sebagai tempat umat muslim beribadah, masjid bisa difungsikan dalam bidang lain salah satunya adalah sebagai destinasi wisata religi. Sama seperti halnya Masjid Cipto Mulyo yang menjadi wisata religi di Pengging, Banyudono. Masjid Cipto Mulyo juga turut serta dalam ritual Jawa yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki hajat atau ingin meminta petunjuk tentang kehidupan. Ritual tersebut meliputi ziarah ke makam Yasadipura kemudian berendam di Umbul Sungsang atau biasa disebut dengan kungkum dan ditutup dengan melaksanakan ibadah di Masjid Cipto Mulyo. Biasanya ritual ini dilakukan pada malam Jumat Pahing, sehingga banyak orang yang berdatangan ke makam Yasadipura, Umbul Sungsang dan Masjid Cipto Mulyo (Coyo, 2024). Hal ini merefleksikan bahwa manusia memiliki kebutuhan spiritual yang perlu dipenuhi terkait ketenangan dan kepuasan batin..
Sebagai ruang budaya, salah satu aspek yang paling penting adalah arsitektur di dalam masjid yang sarat akan makna. Ketika nilai agama bertemu dengan budaya lokal, maka akan terjadi dua kemungkinan yaitu nilai-nilai dari keduanya akan saling menyesuaikan atau saling berbenturan antara satu dengan yang lain. Campuran antara nilai agama dan budaya akan menghasilkan sebuah akulturasi (Roszi dan Mutia, 2018). Hal inilah yang terjadi pada Masjid Cipto Mulyo dimana agama Islam merupakan sistem kepercayaan masyarakat, sedangkan budaya Jawa adalah falsafah kehidupan masyarakat sehingga terdapat arsitektur Masjid Cipto Mulyo yang terpengaruh budaya Jawa. Wujud akulturasi nampak pada arsitektur dan ornamen masjid salah satunya seperti bentuk atap Masjid Cipto Mulyo yang berbentuk tajuk lambang teplok. Atap bentuk tajuk lambang teplok yang bersusun tiga ini merupakan pengaruh dari seni arsitektur era Majapahit seperti pada bangunan candi (Syamsiyah & Muslim, 2018). Bentuk ini juga merupakan simbol yang digambarkan oleh para Wali sebagai pokok-pokok tuntunan Islam yaitu iman, Islam dan ihsan. Selain arsitektur, kegiatan sosial budaya yang dilaksanakan di Masjid Cipto Mulyo seperti pengajian, bakti sosial, TPQ, buka bersama, wiridan dan tadarus bersama dapat mengeratkan tali pesaudaraan antar masyarakat. Masjid Cipto Mulyo juga masih melestarikan kebudayaan lokal seperti sadranan yang diadakan setiap bulan Ruwah. Hal ini tidak terlepas dari peran generasi Z yang turut aktif dalam setiap kegiatan agama, sosial maupun budaya.
Dengan adanya peran Masjid Cipto Mulyo sebagai ruang spiritual sekaligus budaya bagi generasi Z maka diharapkan mampu menumbuhkan sikap sadar sejarah yang kemudian dapat menjadi refleksi nilai dan identitas generasi Z yang mampu bertahan di era digitalisasi dengan tren global yang selalu berubah-ubah. Generasi Z harus sadar akan sejarah lokal yang penuh filosofi dan nilai-nilai yang kemudian dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari sehingga budaya lokal tidak akan luntur seiring berkembangnya zaman.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Masjid Cipto Mulyo, Pengging memiliki bentuk dan struktur arsitektur dengan filosofi yang penuh makna mendalam dan relevan dengan masyarakat khususnya generasi Z. Atap Masjid Cipto Mulyo yang memiliki struktur bersusun tiga atau tajuk lambang teplok memiliki makna simbolis dalam pandangan Jawa-Islam. Struktur atap ini mencerminkan konsep spiritual yaitu iman, Islam dan ihsan. Iman sebagai pondasi dasar keimanan, yang meliputi keyakinan kepada prinsip-prinsip dasar Islam. Islam merupakan penerapan keimanan dalam praktik kehidupan sehari-hari, sementara ihsan merupakan tingkat tertinggi dari keimanan, di mana seseorang melakukan perbuatan baik dengan kesadaran penuh atas hadirnya Allah dalam kehidupannya. Dalam konteks ini, atap Masjid Cipto Mulyo menjadi sebuah simbol visual yang mengajarkan konsep keimanan dalam Islam pada generasi Z. Bentuk serambi masjid berupa persegi panjang tanpa sekat dinding menunjukkan kesederhanaan dan keterbukaan masjid dalam menerima tamu dari berbagai daerah dan kalangan. Letak serambi yang lebih tinggi dari batas suci menunjukkan tingkat kesakralan yang semakin tinggi seiring dengan ketinggian bangunan, mencerminkan hubungan antara umat Muslim dengan Allah. Tiang-tiang yang menopang masjid mengandung makna filosofis tentang empat hawa nafsu manusia, yaitu api, air, udara, dan bumi, yang memiliki korelasi dengan karakteristik manusia dalam kehidupan sehari-hari. Nilai filosofis dari kiblat sendiri adalah tidak hanya sekadar arah untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia, tetapi yang harus dipahami bahwa titik arah kiblat tersebut bukanlah objek yang disembah oleh umat muslim ketika melaksanakan salat. Objek yang disembah tetaplah Allah Yang Maha Esa. Pintu dan jendela dengan model kupu tarung memiliki makna bahwa generasi Z harus bersosialisasi dengan orang lain untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkan. Bentuk mihrab setengah lingkaran melambangkan ketidaksempurnaan manusia di hadapan Tuhan.
Fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim, juga memiliki peran penting dalam memperkuat keimanan dan ketaqwaan generasi Z melalui berbagai kegiatan keagamaan dan sosial budaya. Masjid juga dapat difungsikan sebagai destinasi wisata religi, seperti halnya Masjid Cipto Mulyo di Pengging, Banyudono. Di samping itu, Masjid Cipto Mulyo juga merupakan ruang budaya yang penting, di mana arsitektur dan kegiatan sosial budaya yang dilaksanakan di dalamnya mencerminkan akulturasi antara nilai-nilai agama Islam dan budaya lokal seperti budaya Jawa. Peran generasi Z dalam menjaga dan melestarikan budaya serta sejarah lokal sangatlah penting untuk mempertahankan identitas bangsa di era digitalisasi dengan perubahan tren global yang sangat cepat. Oleh karena itu, Masjid Cipto Mulyo sebagai ruang spiritual religi dan budaya memiliki berbagai nilai dan filosofi yang dapat membentuk identitas dan kesadaran sejarah bagi generasi Z.
Daftar Pustaka
Achmadi. (2024, Juni 10). Filosofi setiap arsitektur Masjid Cipto Mulyo. (D. Puspitasari, Pewawancara)
Afrita, O. B. (2019). PAT PINURBA. 31-43.
Asas, H. D. (2021). Arsitektur Masjid Agung Surakarta sebagai Wujud Akulturasi Budaya. Sosial Budaya, 144-151.
At-toyibi, M. N. (2021). Karakter arsitektur masjid Jawa pada Masjid Pathok Negoro. Jurnal Arsitektur Pendapa, 23-32.
Coyo. (2024, Juni 10). Keterkaitan Masjid Cipto Mulyo dengan tradisi dan peninggalan bersejarah lainnya di Pengging. (D.
Puspitasari, Pewawancara)
GeoEnsiklopedia, T. (2024, Juni 11). geonusantara. Diambil kembali dari geonusantara:
https://www.geonusantara.org/2018/01/22/atap-tumpang-tiga-pada-masjid-masjid-di-jawa-bentuk-filosofi-mendalam-terhadap-umat-akhir-jaman/
Halimah, D. (2024, Juni 11). dhehalimah97.blogspot.com. Diambil kembali dari
https://dhehalimah97.blogspot.com/2016/12/filosofi-udara.html
Harahap, A. P. (2020). Peran Masjid sebagai Pembentuk Identitas Tempat. Jurnal AGORA, 53-63.
Khikmawati, N. (2020). Pemberdayaan Berbasis Religi: Melihat Fungsi Masjid. Islamic Management and Empowerment Journal, 203-
224.
Maharani, W. D. (2024, Juni 7). Radar Malioboro. Diambil kembali dari Radar Malioboro:
https://radarmalioboro.jawapos.com/wisata/2224736534/berenang-dengan-nuansa-khas-kerajaan-di-boyolali-kalian-bisa-kunjungi-umbul-pengging-yang-menjadi-destinasi-wisata-idola
Muhadiyatiningsih, d. (2022). Makna Filosofis Bangunan Masjid Agung Keraton. Jurnal Ilmu-Ilmu, I(24), 29-45.
Muhadiyatiningsih, S. N., Bakri, S., Fatonah, S., & Imanti, V. (2022). Makna Filosofis Bangunan Masjid Agung Keraton. Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin, 29-45.
Supatmo. (2018). Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak. Jurnal Imajinasi, 29-40.